Saat ini, tanta kami yang tak bersuami yang bertugas untuk membersihkan gereja tua itu, menyiapkan perlengkapan untuk pastor yang datang, dan juga mengatur setiap aktivitas di gereja tua itu. Praktisnya, gereja tua itu masih lekat dengan keluarga kami.
Juga, kebiasaan duduk di depan teras rumah menghadap gereja tua itu sudah menjadi kebiasaaan di dalam keluarga kami. Biasanya setelah jam makan malam. Cukup menghabiskan waktu sembari menanti rasa ngantuk. Apalagi jam makan hanya dipenuhi oleh Teleserye yang penuh dengan rekayasa yang tidak masuk akal.Â
Ketika tiba di kota itu, aku pun kerap melakukan hal sama. Makanya, tantaku selalu berucap bahwa apa yang kulakukan hanya mengulang apa yang telah dilakukan oleh anggota keluarga yang terdahulu.Â
Malam itu, jaket menjadi teman penghangat tubuh. Sembari menyeruput teh hijau, saya melihat gereja tua yang tampak gelap. Lampunya sudah lama tidak diganti. Hanya bayang-bayangnya yang sedikit terlihat di bawah kegelapan malam.Â
Kuperhatikan jam tanganku. Sudah sejam aku berada di teras rumah. Waktunya untuk masuk ke dalam rumah.
Lalu, aku bergegas dan mengambil cangkir tehku. Ketika membalikkan tubuhku, tiba-tiba aku mendengarkan tangisan bayi. Aku membalikkan badanku dan coba mendengar dengan seksama arah tangisan itu.
Yang kutahu tidak ada bayi di rumah-rumah sekitar tetangga kami dan juga yang berdekatan dengan gereja tua itu.
"Akh, mungkin saja ada tetangga yang mempunyai tamu yang membawa bayi," pikirku.
Aku masuk ke dalam rumah. Menghapus tangisan itu dengan afirmasi positif.Â
"Pasti ada tamu yang sedang berkunjung ke rumah tetangga."Â
***