Malam itu begitu dingin. Tak biasanya. Baru kali itu, aku mengambil jaket yang sudah lama berdiam di lemari pakaian.Â
Seperti biasa, aku selalu duduk di depan teras rumahku. Jarakanya hanya 10 meter dari sebuah gereja tua.Â
Kerap kali di depan teras rumah keluarga kami, aku mengingat pelbagai macam hal. Termasuk tentang nama gereja tua itu dan pelbagai kisah yang mengitarinya.Â
Maklum, aku datang ke rumah itu karena tuntutan tugas semata. Rumah ini merupakan tempat, di mana ibuku dibesarkan. Ketika ibu sudah menikah, dia harus mengikuti ayah pindah ke provinsi lain.
Sejak bulan lalu, aku pindah tugas. Tempatnya tidak terlalu jauh dari rumah keluarga ibuku. Kebetulan rumah itu hanya ditempati oleh adik bungsu ibuku. Tanta kami.Â
Gereja itu lebih dikenal dengan sebutan gereja tua. Padahal, setiap gereja selalu melekat dengan nama pelindung tertentu. Nama pelindung itu bisa berupa orang-orang kudus. Bukannya tanpa nama pelindung, masyarakat setempat sudah terbiasa menyebutnya dengan gereja tua. Â
Disebut sebagai gereja tua karena gereja itu merupakan gereja paling pertama yang terbangun di kabupaten itu. Makanya, sangat gampang orang mencari alamat gereja itu. Tinggal menyebutnya dengan nama Gereja Tua. Orang pun akan tahu di mana letaknya.Â
Menurut cerita, ketika para pastor dari Eropa melakukan patroli, mereka menjadikan gereja itu sebagai tempat perhentian. Juga, tempat peristirahatan. Â
Dengan demikian, gereja itu seperti menjadi pusat aktivitas agama di kabupaten itu. Ketika pastor pergi mengunjungi umatnya di desa-desa, dia selalu kembali ke gereja tua itu. Kebetulan di gereja tua itu tersedia sebuah kamar. Ukuran kecil. Pas untuk satu tempat tidur singel, lemari kecil, meja beserta kursinya.Â
Sampai sekarang kamar itu tetap berada di sana. Sudah jarang dipakai sebagai tempat istirahat. Lebih dipakai untuk menyimpan barang-barang kepunyaan gereja. Terlihat seperti gudang daripada kamar singgah seorang pastor.Â
Bagi keluarga kami, gereja tua itu menyimpan sejuta kisah. Dari nenek kami hingga orangtua kami, mereka selalu melayani setiap pastor yang berkunjung ke gereja tua itu.Â
Saat ini, tanta kami yang tak bersuami yang bertugas untuk membersihkan gereja tua itu, menyiapkan perlengkapan untuk pastor yang datang, dan juga mengatur setiap aktivitas di gereja tua itu. Praktisnya, gereja tua itu masih lekat dengan keluarga kami.
Juga, kebiasaan duduk di depan teras rumah menghadap gereja tua itu sudah menjadi kebiasaaan di dalam keluarga kami. Biasanya setelah jam makan malam. Cukup menghabiskan waktu sembari menanti rasa ngantuk. Apalagi jam makan hanya dipenuhi oleh Teleserye yang penuh dengan rekayasa yang tidak masuk akal.Â
Ketika tiba di kota itu, aku pun kerap melakukan hal sama. Makanya, tantaku selalu berucap bahwa apa yang kulakukan hanya mengulang apa yang telah dilakukan oleh anggota keluarga yang terdahulu.Â
Malam itu, jaket menjadi teman penghangat tubuh. Sembari menyeruput teh hijau, saya melihat gereja tua yang tampak gelap. Lampunya sudah lama tidak diganti. Hanya bayang-bayangnya yang sedikit terlihat di bawah kegelapan malam.Â
Kuperhatikan jam tanganku. Sudah sejam aku berada di teras rumah. Waktunya untuk masuk ke dalam rumah.
Lalu, aku bergegas dan mengambil cangkir tehku. Ketika membalikkan tubuhku, tiba-tiba aku mendengarkan tangisan bayi. Aku membalikkan badanku dan coba mendengar dengan seksama arah tangisan itu.
Yang kutahu tidak ada bayi di rumah-rumah sekitar tetangga kami dan juga yang berdekatan dengan gereja tua itu.
"Akh, mungkin saja ada tetangga yang mempunyai tamu yang membawa bayi," pikirku.
Aku masuk ke dalam rumah. Menghapus tangisan itu dengan afirmasi positif.Â
"Pasti ada tamu yang sedang berkunjung ke rumah tetangga."Â
***
Sementara duduk di depan teras rumah sembari menikmati kopi dan bermain dengan anjingku, kedua anak kecil mendekat. Awalnya, mereka juga ingin bermain dengan anjingku. Namun, salah seorang anak kecil membuka kisah.
"Tadi malam kami dengar tangisan bayi dari gereja tua," katanya.Â
Aku kaget. Bulu kuduk tanganku ikut berdiri.
"Jangan sampai ada tetangga yang kedatangan tamu dengan anak kecil."
"Tidak. Mama Lisa juga mendengar yang sama."
Mama Lisa adalah salah satu tetangga kami. Seorang janda tua. Tinggal sendiri. Seperti keluarga kami, dia juga adalah salah satu saksi hidup dari keberadaan gereja tua itu. Tapi jarang aktif di gereja.Â
"Kata Mama Lisa, tangisan itu seperti sebuah peringatan. Kalau kita dengar tangisan itu berarti akan terjadi sesuatu di kampung."
"Tidak mungkin. Itu hanya cerita untuk menakut-nakuti."
***
Tok. tok. tok. Bunyi ketukan di rumah kami.
Mendengar itu, Aku lantas membukakan pintu. Seorang tetangga kami yang mengetuk.Â
"Kenapa?"
"Pak Rafel meninggal dunia," katanya.
"Tidak mungkin."
"Benar," jawabnya sembari menunjukkan video CCTV di sebuah toko.
Dia ditembak oleh orang tak dikenal di depan pertokoan. Meninggal di tempat.Â
Aku kian terkejut. Bagaimana tidak, Pak Rafel tidak lain adalah ayah dari anak yang menceritakan tentang tangisan bayi di gereja tua tadi pagi. Rumahnya juga tidak jauh dari gereja tua. Hanya 20 meter.
"Apakah tangisan itu benar-benar menjadi tanda kepergian Pak Rafel. Entalah."
Yang pasti aku tidak mau mendengar tangisan bayi dari gereja tua itu selagi berada di rumah keluarga kami. Juga, aku tidak mau tahu mengapa tangisan bayi itu hadir di gereja tua itu. Biarkan gereja tua itu berdiam dalam bisu di tengah malam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H