"Maksudnya?" tanya gue lagi.
"Ya, bisa jadi lo masih belum bisa lupain, Fani, tapi lo sengaja maksain, buat cepat-cepat nemuin orang baru buat gantiin dia," kata Khilda lagi.
"Terus, aku harus gimana?" tanya gue dengan nada panik.
"Lo harus move on, Don. Cuma itu kok."
Ya, mungkin apa yang dibilang Khilda ada benarnya. Gue seolah terlalu memaksakan diri, untuk mencari pengganti Fani secepat mungkin. Bahkan, Diah yang memang dari awal niatnya hanya ingin belajar bareng dengan gue, malah justru menjauh. Hanya karena gue terlalu berkhayal dan berharap lebih dari pertemanan kami tersebut. Ternyata, gue memang belum bisa move on sepenuhnya dari sosok Fani, sekalipun gue sudah berusaha pergi ke tempat yang jauh.
"Jalanin aja dulu, Don. Lo tuh orangnya baik dan perhatian banget sama cewek, percaya sama gue, suatu saat lo pasti dapetin cewek yang baik juga kok," kata Khilda coba menghibur gue.
"Iya Khil, makasih ya. Jadi, sekarang yang harus aku lakuin, jalanin aja semuanya?" tanya gue sambil berusaha tersenyum tipis.
"Iya benar, jalanin semuanya, Don. Lo pasti bisa kok, hehe." Jawab Khilda dengan melemparkan senyuman manis, sambil menepuk-nepuk pundak gue.
Jalani saja? Ya, gue memang harus bisa menjalani semua dan mengejar impian gue. Bukan lagi bersedih dan menoleh ke belakang, melainkan gue harus bisa tersenyum secara perlahan-lahan dan terus melangkah jauh ke depan. Gue yakin, cepat atau lambat gue akan bisa move on dan meraih semua impian gue di Jakarta. Amin.
Setelah curhat panjang lebar dengan Khilda, gue pun bergegas balik ke kostan. Namun, di tengah perjalanan pulang dari kampus, gue menemukan pemandangan yang aneh. Gue melihat sesosok bertubuh besar dan tinggi dengan rambut panjang, sedang terdiam di taman tengah kampus. Ternyata, sosok itu bukanlah Undertaker yang lagi mabok lem, melainkan itu, Fajar.
"Kenapa Jar, diem aja dari tadi? Belom dapet kiriman bulanan, yak? Hehe," tanya gue dengan nada bercanda.