"Dia yang gue maksud itu, cowok gue, Don. Dia sakit dan sekarang minta gue buat datang ke rumahnya," jawab Dia lagi.
"Cowok? Diah sudah punya pacar?" gue terkejut dengan pernyataan dari Diah.
"Iya Don, gue udah jadian sama dia 3 tahun. Dari pas sekolah di SMK dulu," jelas Diah coba menjelaskan.
"Oh. Yaudah. Jenguk aja, dia pasti lagi butuh kamu sekarang," jawab gue, berusaha untuk meyakinkan Diah.
"Maaf ya, Dono. Lain kali, pasti kok gue bakal bisa buat kerjain tugas bareng sama lo," ujar Diah bergegas sambil memakai tas slempang dan tersenyum tipis ke arah gue.
"Iya, kapan-kapan ya, Diah, hehe." Gue pun membalas dengan senyuman tak kalah tipis.
Jujur, gue gak menyangka, kalau cewek yang gue ajak duduk lesehan berduaan setiap hari sabtu di lobby kampus, ternyata sudah punya cowok. Sebagai laki-laki, dengan sangat terhormat, gue menyatakan untuk tidak mau terbawa perasaan lagi dengan Diah. Bagi gue, sangat gak etis, ketika gue menyukai kepunyaan orang lain, apalagi gue sampai menginginkannya. Gue gak bisa membayangkan betapa kejamnya gue, kalau gue harus memaksakan perasaan gue ini terhadap seseorang, meskipun gue sadar, resikonya gue akan merusak hubungan orang lain. Ya, dengan kata lain, gue memutuskan untuk berhenti mengejar Diah, karena gue menghargai hubungannya dengan pacarnya.
Semenjak saat itu, gue tidak pernah lagi mengerjakan tugas bareng dengan Diah. Setiap kali Diah mengajak, gue selalu menolak dengan berbagai alasan. Mulai dari pulang ke rumah saudara di Tangerang, cucian di kostan lagi banyak, bahkan hingga, nolongin nenek-nenek yang lagi berantem sama kucing Anggora.
Lagipula, kalau boleh jujur, gue memang merasa kecewa, saat mengetahui Diah sudah memiliki pacar. Namun, entah kenapa, gue tidak merasa kehilangan sama sekali. Seolah, tidak ada yang berubah dan hilang dari diri gue, setelah gue dan Diah menjauh.
"Terus, ini apa namanya, Khil?" tanya gue bingung.
"Mungkin, bisa dibilang, lo terlalu maksa, Don," jawab Khilda berusaha menjelaskan.