Jadi asuransi BUKAN investasi, bukan tabungan. Sebenarnya, membayar premi asuransi adalah suatu pengeluaran biaya, yang tidak akan kembali, untuk memperoleh jaminan bahwa pada saat terjadi musibah penanggung akan memberikan Pertanggungan sesuai yang diperjanjikan dalam polis.
Kalau sudah memahami hal-hal ini, kita kembali melihat bahwa semuanya, sekali lagi, diasumsikan berjalan secara normal: bahwa ekonomi itu roda berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Ada waktunya orang bergairah, ada waktunya orang cemas. Apa yang turun, nanti akan naik lagi walau tidak tahu kapan. Ada masa terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi, ada masa terjadi resesi di mana ekonomi menyusut.
Bagaimana jika terjadi kondisi DEPRESI? Dunia sudah pernah mengalami, terakhir tahun 1929.
Dalam depresi, ekonomi menghilang. Saham bukan saja turun, tetapi lenyap sebab emiten bangkrut. Obligasi bukan saja jatuh nilainya, tetapi jadi hutang yang tidak dibayar alias default. Perbankan mempunyai instrumen untuk melindungi hutang dari kebangkrutan, instrumen yang disebut CDS (Credit Default Swap), tetapi ketika terlalu banyak CDS diklaim -- maka bank penerbitnya yang bisa bangkrut.
Asumsi seperti obligasi adalah instrumen investasi yang aman dapat menjadi gagal, nilainya jatuh (ditandai dengan yield yang meningkat naik tajam, orang bersedia menjual obligasinya sangat murah). Ketika dana pensiun disimpan kebanyakan dalam obligasi dan nilainya jatuh, maka lembaga pensiun tersebut bisa bangkrut.
Perusahaan Asuransi juga bermasalah: ketika cadangan premi disimpan kebanyakan dalam obligasi dan nilai obligasinya jatuh, maka perusahaan asuransi itu bisa gagal memberikan pertanggungan yang dijanjikan, entah secara nominal, bisa juga secara jangka waktu yang semakin pendek.
Bagaimana dengan saham? Ada berbagai macam kelas saham, di mana saham berkapitalisasi besar tidak selalu kuat. Ada saham yang kapitalisasi tidak besar malah bertahan sebagai saham defensif. Mengapa begitu?
Karena saham berkapitalisasi besar umumnya dari emiten yang mempunyai proyeksi jangka panjang pertumbuhan besar juga, seringkali dalam bidang teknologi. Emiten atau perusahaan yang bergerak di bidang hal yang rutin seperti distribusi beras dan kebutuhan pokok, tidak mempunyai proyeksi pertumbuhan besar. Beras adalah barang komoditas yang harganya sudah diatur dan tidak dapat untung besar.
Ketika krisis terjadi, masyarakat tidak membeli produk teknologi sehingga muncul kerugian emiten, dan harga sahamnya juga jatuh ke jurang. Tapi dalam situasi krisis, orang tetap butuh makan, butuh distribusi bahan pokok, dan harga saham perusahaan distribusi itu relatif bertahan.
Begitu juga dengan obligasi. Ketika korporasi yang bergerak di bidang teknologi mengeluarkan obligasi, mungkin krisis menyebabkan kerugian sehingga perusahaan tidak berhasil membayar obligasinya. Berbeda dengan perusahaan yang bergerak di bidang makanan, krisis tidak serta merta menurunkan penjualan makanannya -- masyarakat tetap butuh makan. Masih ada keuntungan sehingga pembayaran kupon obligasinya tetap berjalan teratur.
Kita belajar sesuatu dari tahun 2008, ketika ekonomi global diguncang oleh sebuah instrumen yang disebut Subprime Mortgage -- ini instrumen yang dikeluarkan oleh perbankan di Amerika Serikat. Ketika Subprime Mortgage gagal, pertanyaan terbesar adalah di mana bank yang terkena racun Subprime, dan mana bank yang bebas dari Subprime?