Mohon tunggu...
Donny Adi Wiguna ST MA CFP
Donny Adi Wiguna ST MA CFP Mohon Tunggu... Konsultan - CERTIFIED FINANCIAL PLANNER, Theolog, IT Consultant, Photographer, dan Guru bikin Kue dan Roti

Konsultan Perencana Keuangan di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kontraksi Ekonomi dalam Deglobalisasi

28 September 2022   13:36 Diperbarui: 28 September 2022   13:46 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Beberapa hal telah terjadi di dunia. Yang pertama, setelah ada laporan inflasi setinggi 9,1% di Amerika Serikat, The Fed menjadi agresif untuk menurunkan inflasi dengan cara menaikkan suku bunga. Inflasi adalah penurunan nilai uang, turun daya belinya. Langkah meningkatkan suku bunga adalah upaya meningkatkan nilai uang, menaikkan daya belinya.

Kita perlu ingat prinsip barter antara dua barang. Kalau barang yang satu nilainya naik, itu berarti lawannya mengalami penurunan nilai. Nilai ditentukan oleh penawaran (supply) dan permintaan (demand). Kalau banyak barangnya tapi sedikit yang meminta, nilainya turun. Kalau sedikit barang tapi banyak yang meminta, nilainya naik.

Uang juga merupakan semacam barang. Kalau uang dicetak, maka barang yang disebut uang ini jumlahnya makin banyak, sehingga nilainya turun. Kalau suku bunga dinaikkan maka biaya untuk memperoleh uang juga meningkat sekaligus lebih banyak orang menaruh uangnya ke bank sehingga jumlah uang beredar turun, hasilnya nilainya naik.

Mata uang US Dollar adalah mata uang cadangan devisa di dunia, disebabkan dua hal. Pertama adalah kesepakatan Bretton Woods di akhir PD II, ketika dunia runtuh akibat perang dan emas langka. Amerika Serikat masih pegang banyak emas dan mata uangnya disetarakan dengan emas. Amerika Serikat juga memberikan bantuan finansial kepada negara-negara Eropa yang dicabik perang, tentunya dalam mata uang US Dollar sebelum dikonversi ke mata uang masing-masing negara Eropa. Begitulah prosesnya Eropa pulih dari perang dunia kedua.

Hal kedua, mata uang US Dollar dipakai untuk jual beli minyak bumi, karena Amerika Serikat menguasai seluruh tambang minyak di Arab Saudi. Alhasil, transaksi minyak bumi dunia hanya dilakukan dalam mata uang USD. Orang butuh USD untuk membeli minyak bumi dan turunannya, padahal seluruh budaya manusia semakin bergantung pada minyak bumi: energi, plastik, bahan kimia. Memang belakangan ladang minyak itu dibeli seluruhnya oleh Arab Saudi, tapi sistematika jual beli minyak bumi tetap memakai USD.

Tidak ada yang bertanya kenapa Arab Saudi jual minyak bumi tidak dalam mata uang Saudi Riyal, melainkan USD? Karena itu, USD disebut juga Petro Dollar.

Apa yang terjadi di tahun 2008 hingga 2014? Selama 6 tahun, The Fed mencetak USD melalui program Quantitative Easing. Harusnya berhenti dan normalisasi, namun sejak 2019 dijalankan lagi dan Pandemi tahun 2020 membuat pencetakan USD sangat besar untuk memberikan bantuan sosial kepada rakyat Amerika Serikat yang dilockdown akibat Pandemi.

Kalau suatu mata uang dicetak banyak, biasanya terjadi penurunan nilai yang besar, kehilangan daya beli, sehingga inflasi meningkat tajam. Tetapi karena ini adalah USD, mata uang cadangan devisa dan mata uang transaksi dunia, percetakan USD mengalir ke seluruh dunia dan membuat negara-negara lebih mudah bertransaksi, harga-harga barang lebih murah.

Kita perlu mengingat ini: semakin rendah nilai mata uang, semakin murah produk yang ditawarkan dalam mata uang tersebut. Kalau USD turun, maka perdagangan global lebih bergiat karena produk lebih murah. Orang lebih besemangat dan percaya masa depan cerah. Untuk itu negara-negara berhutang lebih banyak, buat mengerjakan lebih banyak proyek, didorong USD murah melimpah.

Lalu, terjadilah berbagai macam hal, utamanya adalah Pandemi Covid, hingga terjadi inflasi. Pada bulan Juni 2022, The Fed melakukan kebalikan dari Quantitative Easing, yaitu Quantitative Tightening. Ini mengguncangkan seluruh dunia. Kemudian, The Fed menaikkan tingkat suku bunga USD.

Ingat bagaimana perdagangan dunia memakai USD? Negara juga berhutang dalam USD. Kalau nilai USD dinaikkan oleh The Fed, artinya (1) hutang dalam USD menjadi lebih mahal dibayar mata uang lokal, dan (2) jumlah USD berkurang, likuiditas USD menurun. Biaya memperoleh USD meningkat, bunga kredit USD juga meningkat. Maka, segala sesuatu di dunia menjadi semakin mahal, perdagangan dunia menurun.

Karena energi berkorelasi langsung dengan produktivitas industri, penurunan perdagangan dunia berarti produktivitas industri juga menurun (siapa yang mau terus memproduksi barang yang kini jumlah pembelinya menurun tajam?), artinya pemakaian energi juga turun.

Berita baik bagi kita: harga minyak bumi menjadi turun, semoga harga bensin juga turun. Dan memang turun di minyak mentah. Namun, karena produktivitas industri turun maka pengolahan minyak mentah dan transportasinya juga berkurang, sehingga biaya pengolahan minyak dan biaya pengangkutan meningkat. Bagi rakyat, harga bensin tidak turun walaupun harga minyak bumi turun.

Di sisi lain, barang-barang pokok harganya juga naik. Makin mahal biaya produksinya, makin mahal biaya transportasinya. Soal biaya ini juga diperparah oleh cuaca yang buruk di belahan bumi utara. Banyak gagal panen terjadi untuk hasil jagung, kedelai, dan gandum.

Di bulan Agustus 2022, walaupun harga bensin turun banyak tapi inflasi tetap naik dari bulan ke bulan, sebesar 0,1%. Artinya, nilai USD tetap turun. Bagaimana The Fed merespon? Tentu saja, suku bunga The Fed dinaikkan kembali. Nilai mata uang USD didorong naik lebih tinggi, likuiditas lebih kering, nilai hutang USD lebih besar.

Meningkatnya The Fed Rate, suku bunga The Fed, mendorong bank sentral - bank sentral seluruh dunia ikut menaikkan suku bunga mata uang masing-masing. Mereka harus menanggulangi naiknya inflasi yang terjadi (baca: turunnya nilai mata uang mereka) karena naiknya USD, bukan?

Apa yang terjadi kemudian? Likuiditas setiap mata uang turut mengalami penurunan. Biaya untuk memperoleh uang (baca: bunga kredit) meningkat, perekonomian semakin berat. Lalu, ada masalah dengan surat hutang alias obligasi yang ada.

Ketika suku bunga perbankan naik, maka yield atau pengembalian dari obligasi juga naik, karena keduanya berkompetisi. Misalnya ya, seseorang mau berinvestasi tunai 1 milyar. Apakah dia taruh di bank yang naik returnnya, atau taruh di obligasi yang returnnya tetap? 

Ya di bank, karena lebih aman. Kalau orang mau jual obligasi, dia harus menawarkan yield yang lebih tinggi, bukan? Itu artinya dia harus MENURUNKAN harga obligasinya, sebab dalam obligasi fixed rate, nominal dari kupon itu tetap sama.

Artinya, nilai harta obligasi menurun, kecuali orang itu tetap memegang obligasinya sampai jatuh tempo. Namun dalam situasi kebutuhan tunai tinggi, siapa yang tahan terus menyimpan obligasi sampai jatuh tempo, bertahun-tahun kemudian?

Terjadilah penurunan nilai obligasi. Forbes melaporkan bond index telah turun sebesar 11%, sedangkan index Bloomberg menunjukkan penurunan 15%, sesuatu penurunan sangat dalam bernilai triliunan USD. Secara global pasar obligasi berlipat kali lebih besar dibandingkan pasar saham.

Dengan kondisi ini, jika obligasi baru dikeluarkan maka harus menawarkan kupon yang lebih besar daripada sebelumnya. Artinya ada beban pembayaran kupon yang lebih tinggi membebani negara dan korporasi yang menerbitkan obligasi.  Bagaimana negara mengatur anggaran pendapatan dan belanja mereka, terlebih jika terikat ketergantungan harus impor untuk kebutuhan pokok rakyat?

Bagaimanapun, beban hutang meningkat, dan di saat yang sama terjadi inflasi. Inflasi dalam jangka panjang menurunkan nilai uang -- ada perhitungan nilai waktu dari uang. Kalau kita ingat, dahulu tahun 2000 membawa uang sebesar Rp 100.000 adalah hal besar, jumlah besar. Tapi sekarang jumlah yang sama tidak lagi terasa besar, membeli lebih sedikit barang.

Kombinasi inflasi tinggi dan bunga hutang tinggi, membuat orang tidak mampu produktif karena daya upayanya habis antara kebutuhan konsumsinya sendiri dan membayar beban bunga. Bahkan dalam banyak situasi, misalnya di Inggris, orang tidak lagi mempunyai cukup pendapatan untuk konsumsi. Akibatnya, mereka tidak lagi membayar hutangnya.

Bagaimana bank mengelola uang? Mereka menerima uang yang ditabung, funding. Kemudian bank menyalurkan uang kepada peminjam, lending. Atau, bank membeli surat berharga dari bank sentral. Berapa banyak uang tabungan yang bisa bank pinjamkan? Dalam kasus di Amerika Serikat, seluruh uang tabungan bisa dipinjamkan kepada orang lain, dengan The Fed sebagai penjamin.

Apa yang terjadi bila peminjam tidak membayar sama sekali? Bank bisa menyita aset yang dijadikan agunan oleh peminjam. Tetapi, bagaimana jika nilai agunan itu terus merosot sangat dalam? Bank punya masalah, yang muncul saat penabung mau menarik uang tabungannya: tidak ada uang di bank. Mulai jadi masalah di bank-bank di Amerika Serikat.

Dalam hal ini, kasus ekstra besar terjadi di China, akibat masalah di properti. Cerita lain lagi.

Tapi kita lihat baru-baru ini terjadi heboh di Inggris. Menteri Keuangan Inggris, Kwasi Kwarteng mengumumkan akan memotong pajak dan melakukan serangkaian kebijakan fiskal, menyusul turunnya Poundsterling terhadap USD secara drastis. Pernyataan ini diikuti oleh Bank of England -- bank sentral Inggris -- bahwa mereka bersiap menaikkan tingkat suku bunga setinggi yang dibutuhkan.

Yang terjadi? Masyarakat menjadi panik dan malah menjatuhkan nilai Poundsterling lebih dalam. Inflasi sudah tinggi sekali di Inggris, hingga rakyat tidak bisa membeli bahan makanan. Pendapatan terlalu rendah, harga-harga bahan pokok dan energi terlalu tinggi. Ekonomi Inggris runtuh.

Kalau Anda adalah investor, apa mau berinvestasi di Inggris? Rasanya tidak. Malah kalau masih ada investasi, lebih cepat menjual investasi itu lebih baik. Terus keluar, mencari tempat yang lebih aman, setidaknya tidak seruntuh Inggris. Ini reaksi yang rasional, dan secara keseluruhan membuat Inggris semakin terbenam dalam masalah.

Apakah The Fed akan berhenti menaikkan suku bunga? Mereka bilang akan jalan terus selama inflasi masih tinggi. Kini Fed Rate di 3,25%, dan banyak ekonom yang menduga akan terus naik paling sedikit sampai 4,5%, bisa lebih. Apakah kenaikan suku bunga menyelesaikan masalah Amerika Serikat?

Masalahnya adalah deglobalisasi yang terjadi. Kini usaha terhenti karena perdagangan jadi berat akibat tingginya nilai USD. Melambatnya perdagangan, menghancurkan penawaran di dunia: untuk barang apapun dari manapun, harganya makin mahal. Ini membuat inflasi terjadi, yang juga membuat harga di Amerika Serikat tetap tinggi.

Penyebabnya: sudah lama Amerika Serikat tidak lagi memproduksi barang-barangnya di dalam negeri. Banyak yang mereka impor, termasuk dari Indonesia. Jauh lebih murah membuat barang di luar negeri daripada di Amerika Sendiri, di mana hukum membuat upah dan pajak sangat tinggi bagi usaha.

Kalau Amerika Serikat harus mulai membuat barangnya sendiri, malah mereka mendapati harga yang lebih mahal untuk segala sesuatu. Ini juga hal yang sama terjadi di Indonesia: Lebih murah membeli pakaian dalam dari Cina daripada membuat sendiri pakaian dalam di Indonesia. Kalau suatu saat Cina tidak lagi menjual pakaian dalam dan terpaksa harus membeli pakaian dalam buatan dalam negeri, kita harus membayar lebih mahal.

Maka, inflasi masih terjadi dalam jangka waktu cukup panjang, sampai akhirnya tingkat upah di negara-negara mengalami penyesuaian, PENURUNAN.

Globalisasi telah menyebabkan gelembung besar ekonomi, yang menyebabkan upah lebih tinggi, tingkat hutang lebih tinggi (lebih pede untuk berhutang), dan gaya hidup lebih malas enggan bekerja keras secara fisik.

Deglobalisasi yang terjadi merupakan wujud pecahnya gelembung ekonomi besar ini, artinya orang harus bersedia menerima kenyataan upahnya turun, tidak bisa lagi berhutang, dan harus mengubah gaya hidup. Ini disebut sebagai degradasi kehidupan, dan sangat mungkin terjadi penolakan, kemarahan, hingga kerusuhan.

Sekarang tidak rusuh, tetapi orang terus menjual aset, menjual investasi, memindahkan dari sini ke sana, dan di dalam prosesnya merugikan semua pihak sebab dunia usaha tidak semudah itu berubah. Pabrik bisa dipindahkan mencari tenaga kerja lebih murah, namun memindahkan pabrik bukan berarti memindahkan efisiensi tenaga kerja yang telah terbangun dalam jangka waktu lama. 

Harus membangun ulang, harus menerima keluarnya biaya lebih besar dari kesalahan dan inefisiensi di tempat baru, oleh pegawai baru, buruh baru.

Kalau pabrik dipindahkan dari China ke Amerika Serikat, dengan harus membayar upah buruh lebih tinggi, apakah berarti ada produktivitas dan efisiensi setinggi pabrik yang sudah berjalan bertahun-tahun di China? Tidak. Perusahaan harus menanggung biaya upah lebih tinggi sekaligus penurunan efisiensi dan proses pembelajaran ulang, yang membutuhkan waktu.

Masalahnya, tidak ada banyak waktu di saat tekanan ekonomi melanda. Kalau di sisi produksi terjadi masalah, ada beban lebih besar di sisi penjualan: bagaimana memperoleh pangsa pasar yang cukup besar untuk kapasitas produksi yang ada?

Sekali lagi kita melihat China: mereka kehilangan pasar, dan jadi masalah besar memasarkan produk mereka. Di China, perusahaan tidak dilihat dari feasibility rencana usaha, misalnya berapa banyak produksi, berapa banyak biaya, dan berapa banyak pendapatan serta laba untuk memperoleh hutang dari bank. 

Yang dilihat adalah berapa banyak pabrik menyerap tenaga kerja, seperti apa orang dapat bekerja secara fulltime, maka akan mendapat hutang dan subsidi serta keringanan bunga dari bank.

Ketika ekonomi dunia meningkat karena USD murah, ini jadi berita baik bagi China. Tapi ketika perdagangan dunia terhenti, bagaimana pabrik disuruh terus berproduksi padahal tidak ada pembeli? Semakin tinggi efisiensi dari buruh, artinya semakin besar produktivitasnya, menjadi beban marketing yang semakin besar hingga tidak bisa ditanggung lagi oleh pengusaha. Di saat ini, pengusaha butuh menarik dana mereka dari bank.

Tetapi bank di China kehabisan likuiditas karena hutang yang tidak dibayar terlalu banyak dari sektor properti.

Dengan runtuhnya ekonomi di Eropa, di China, juga di Amerika Serikat, beberapa hal terjadi.

Pertama, perdagangan global melambat. Supply atau penawaran global menurun, bahkan terhenti. Ada produk-produk spesifik berteknologi tinggi yang tidak lagi bisa diperoleh. Ini bisa menghentikan produksi dalam negeri.

 Juga muncul masalah dalam menjual: bagaimana bisa tetap mengekspor ke negara yang bermasalah? Mereka yang biasa membeli komoditas, kini tidak lagi memesan. Kita lihat, harga komoditas menurun.

Kedua, terjadi penurunan nilai aset, yang juga berarti orang harus menghadapi situasi di mana terjadi penurunan upah. Ini menyebabkan keruntuhan dari sistem perbankan terutama di sisi kredit, karena bank jadi bermasalah tidak tahu siapa yang bisa dipercaya untuk diberi kredit. 

Terhadap mereka yang mempunyai sejarah kredit baik pun, bank tidak tahu apakah di kemudian hari mereka masih tetap mampu memenuhi pembayaran?

Ketiga, terjadi peningkatan risiko, karena orang harus berusaha lebih keras dan harus mengubah pola hidup, cara kerja. Tidak lagi bisa mengandalkan duduk saja di belakang meja. Orang harus lebih banyak bepergian, harus membuka daerah baru. 

Di Indonesia, itu berarti harus bersiap membuka pasar baru di Kalimantan dan Sulawesi, mencari pertumbuhan baru di tingkat yang lebih rendah, yang bisa dipenuhi dengan produk dalam negeri. Tapi itu juga berarti lebih besar kemungkinan kena musibah, kecelakaan, atau terkena penyakit. Kalau tidak ditangani dengan baik, ini menjadi masalah kebangkrutan lainnya lagi.

Keempat, sukar mempercayai aset investasi. Taruh di saham, rontok. Taruh di obligasi, rontok. Banyak rencana di masa lalu dalam berinvestasi yang tidak berhasil. Yang tersisa adalah aset-aset produktif yang menghasilkan bukan dari jual beli aset melainkan produktivitas aset itu sendiri. 

Jadi kalau beli rumah, ya buatlah usaha di rumah itu. Bukan berharap untung dari jual beli rumah. Aset terbesar adalah diri kita sendiri, maka bangunlah diri kita untuk lebih produktif dengan memakai aset yang ada. Tidak lagi bisa berharap banyak pada hasil dari orang lain.

Kelima, deglobalisasi membuat hilangnya keamanan. Sebelum ini, ada Amerika Serikat yang menjaga perdagangan bebas terjadi dan terbuka secara bebas dan adil bagi semua pihak. Bagaimana kalau tidak ada lagi penjaga? Maka terjadi masalah seperti di masa lalu, di mana ekspedisi menghadapi serangan dan hambatan.

 Faktor keamanan, yang sebelumnya diterima sebagai kewajaran alamiah, menjadi runtuh. Tidak alami kalau orang bisa aman melintas ke mana saja. Tiap negara punya kepentingan, bisa saja melakukan sesuatu untuk menghalangi perdagangan pihak lain, tentunya tidak secara terang-terangan. Contohnya, lihat ada serangan terhadap kapal di Laut Merah...

Tulisan ini, cerita ini masih berlanjut. Tapi mari kita berhenti dulu di sini dan kembali mengamati apa yang terjadi kemudian.

Salam,

Donny A. Wiguna, CFP

Salam,
Donny A. Wiguna, CFP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun