Kalau Amerika Serikat harus mulai membuat barangnya sendiri, malah mereka mendapati harga yang lebih mahal untuk segala sesuatu. Ini juga hal yang sama terjadi di Indonesia: Lebih murah membeli pakaian dalam dari Cina daripada membuat sendiri pakaian dalam di Indonesia. Kalau suatu saat Cina tidak lagi menjual pakaian dalam dan terpaksa harus membeli pakaian dalam buatan dalam negeri, kita harus membayar lebih mahal.
Maka, inflasi masih terjadi dalam jangka waktu cukup panjang, sampai akhirnya tingkat upah di negara-negara mengalami penyesuaian, PENURUNAN.
Globalisasi telah menyebabkan gelembung besar ekonomi, yang menyebabkan upah lebih tinggi, tingkat hutang lebih tinggi (lebih pede untuk berhutang), dan gaya hidup lebih malas enggan bekerja keras secara fisik.
Deglobalisasi yang terjadi merupakan wujud pecahnya gelembung ekonomi besar ini, artinya orang harus bersedia menerima kenyataan upahnya turun, tidak bisa lagi berhutang, dan harus mengubah gaya hidup. Ini disebut sebagai degradasi kehidupan, dan sangat mungkin terjadi penolakan, kemarahan, hingga kerusuhan.
Sekarang tidak rusuh, tetapi orang terus menjual aset, menjual investasi, memindahkan dari sini ke sana, dan di dalam prosesnya merugikan semua pihak sebab dunia usaha tidak semudah itu berubah. Pabrik bisa dipindahkan mencari tenaga kerja lebih murah, namun memindahkan pabrik bukan berarti memindahkan efisiensi tenaga kerja yang telah terbangun dalam jangka waktu lama.Â
Harus membangun ulang, harus menerima keluarnya biaya lebih besar dari kesalahan dan inefisiensi di tempat baru, oleh pegawai baru, buruh baru.
Kalau pabrik dipindahkan dari China ke Amerika Serikat, dengan harus membayar upah buruh lebih tinggi, apakah berarti ada produktivitas dan efisiensi setinggi pabrik yang sudah berjalan bertahun-tahun di China? Tidak. Perusahaan harus menanggung biaya upah lebih tinggi sekaligus penurunan efisiensi dan proses pembelajaran ulang, yang membutuhkan waktu.
Masalahnya, tidak ada banyak waktu di saat tekanan ekonomi melanda. Kalau di sisi produksi terjadi masalah, ada beban lebih besar di sisi penjualan: bagaimana memperoleh pangsa pasar yang cukup besar untuk kapasitas produksi yang ada?
Sekali lagi kita melihat China: mereka kehilangan pasar, dan jadi masalah besar memasarkan produk mereka. Di China, perusahaan tidak dilihat dari feasibility rencana usaha, misalnya berapa banyak produksi, berapa banyak biaya, dan berapa banyak pendapatan serta laba untuk memperoleh hutang dari bank.Â
Yang dilihat adalah berapa banyak pabrik menyerap tenaga kerja, seperti apa orang dapat bekerja secara fulltime, maka akan mendapat hutang dan subsidi serta keringanan bunga dari bank.
Ketika ekonomi dunia meningkat karena USD murah, ini jadi berita baik bagi China. Tapi ketika perdagangan dunia terhenti, bagaimana pabrik disuruh terus berproduksi padahal tidak ada pembeli? Semakin tinggi efisiensi dari buruh, artinya semakin besar produktivitasnya, menjadi beban marketing yang semakin besar hingga tidak bisa ditanggung lagi oleh pengusaha. Di saat ini, pengusaha butuh menarik dana mereka dari bank.