Karena energi berkorelasi langsung dengan produktivitas industri, penurunan perdagangan dunia berarti produktivitas industri juga menurun (siapa yang mau terus memproduksi barang yang kini jumlah pembelinya menurun tajam?), artinya pemakaian energi juga turun.
Berita baik bagi kita: harga minyak bumi menjadi turun, semoga harga bensin juga turun. Dan memang turun di minyak mentah. Namun, karena produktivitas industri turun maka pengolahan minyak mentah dan transportasinya juga berkurang, sehingga biaya pengolahan minyak dan biaya pengangkutan meningkat. Bagi rakyat, harga bensin tidak turun walaupun harga minyak bumi turun.
Di sisi lain, barang-barang pokok harganya juga naik. Makin mahal biaya produksinya, makin mahal biaya transportasinya. Soal biaya ini juga diperparah oleh cuaca yang buruk di belahan bumi utara. Banyak gagal panen terjadi untuk hasil jagung, kedelai, dan gandum.
Di bulan Agustus 2022, walaupun harga bensin turun banyak tapi inflasi tetap naik dari bulan ke bulan, sebesar 0,1%. Artinya, nilai USD tetap turun. Bagaimana The Fed merespon? Tentu saja, suku bunga The Fed dinaikkan kembali. Nilai mata uang USD didorong naik lebih tinggi, likuiditas lebih kering, nilai hutang USD lebih besar.
Meningkatnya The Fed Rate, suku bunga The Fed, mendorong bank sentral - bank sentral seluruh dunia ikut menaikkan suku bunga mata uang masing-masing. Mereka harus menanggulangi naiknya inflasi yang terjadi (baca: turunnya nilai mata uang mereka) karena naiknya USD, bukan?
Apa yang terjadi kemudian? Likuiditas setiap mata uang turut mengalami penurunan. Biaya untuk memperoleh uang (baca: bunga kredit) meningkat, perekonomian semakin berat. Lalu, ada masalah dengan surat hutang alias obligasi yang ada.
Ketika suku bunga perbankan naik, maka yield atau pengembalian dari obligasi juga naik, karena keduanya berkompetisi. Misalnya ya, seseorang mau berinvestasi tunai 1 milyar. Apakah dia taruh di bank yang naik returnnya, atau taruh di obligasi yang returnnya tetap?Â
Ya di bank, karena lebih aman. Kalau orang mau jual obligasi, dia harus menawarkan yield yang lebih tinggi, bukan? Itu artinya dia harus MENURUNKAN harga obligasinya, sebab dalam obligasi fixed rate, nominal dari kupon itu tetap sama.
Artinya, nilai harta obligasi menurun, kecuali orang itu tetap memegang obligasinya sampai jatuh tempo. Namun dalam situasi kebutuhan tunai tinggi, siapa yang tahan terus menyimpan obligasi sampai jatuh tempo, bertahun-tahun kemudian?
Terjadilah penurunan nilai obligasi. Forbes melaporkan bond index telah turun sebesar 11%, sedangkan index Bloomberg menunjukkan penurunan 15%, sesuatu penurunan sangat dalam bernilai triliunan USD. Secara global pasar obligasi berlipat kali lebih besar dibandingkan pasar saham.
Dengan kondisi ini, jika obligasi baru dikeluarkan maka harus menawarkan kupon yang lebih besar daripada sebelumnya. Artinya ada beban pembayaran kupon yang lebih tinggi membebani negara dan korporasi yang menerbitkan obligasi. Â Bagaimana negara mengatur anggaran pendapatan dan belanja mereka, terlebih jika terikat ketergantungan harus impor untuk kebutuhan pokok rakyat?