Seharusnya dalam pengelolaan limbah radioaktif, UU Ketenaganukliran membebankan pengelolaannya kepada pengusaha penghasil limbah radioaktif. Segala biaya hendaknya ditanggung si penghasil. Adapun tanggung jawab negara untuk menjamin lingkungan hidup dijalankan melalui instrumen perizinan.Â
Putusan MK No. 18/PUU-XII/2014 dalam permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup menerangkan bahwa instrumen perizinan dalam perspektif hukum administrasi negara adalah upaya preventif untuk mencegah risiko terhadap kesehatan manusia dan tercemarnya lingkungan hidup akibat Limbah B3 yang dihasilkan.
Melalui instrumen perizinan inilah tanggung jawab negara dalam pengelolaan limbah B3 diwujudkan. Â Hal yang sama juga seyogyanya dijalankan dalam pengelolaan limbah radioaktif.Â
Jika BATAN berbentuk BUMN, maka hal ini menjadi tidak bertentangan dengan putusan MK di atas. Karena, dalam hal ini pengusaha penghasil limbah radioaktif melakukan hubungan kontrak dengan BATAN (kembali business to business). Jadi, negara tidak menjadi hanya sebatas "tukang bersih-bersih" saja.Â
Tunggu dulu, bukankah sekarang Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN juga sudah memungut Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada pengusaha yang melimbahkan limbah radioaktifnya ke fasilitas PTLR BATAN? Memang benar, tapi perlu diingat  landasan filosofis dari PNBP adalah bagaimana barang milik negara (fasilitas PTLR) ini dapat dioptimalkan penggunaannya untuk kemakmuran rakyat.Â
Dalam rangka kita menggunakan barang milik negara seoptimal dan seproduktif mungkin. BATAN menurut Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 adalah LPNK penelitian dan pengembangan (litbang), jadi fasilitas yang dimiliki juga skala litbang bukan skala industri. Dan fasilitas ini tidak selaiknya dikomersialkan. Ingat kasus zat radioaktif di Perumahan BATAN Indah, yang tersangkanya (pegawai BATAN) mengiklankan jasa pelimbahan?
Untuk poin pengoptimalan barang milik negara ini akan saya uraikan dalam tulisan berikutnya mengenai alasan dari perspektif ekonomi. Ada banyak potensi fasilitas BATAN dan penemuan-penemuan hasil peneliti BATAN yang akan lebih optimal jika BATAN menjadi BUMN, tentunya capaian terbesar adalah mewujudkan PLTN (saya jadi teringat tulisan sangat menarik dari seorang peneliti senior BATAN yg berjudul Curhat Seorang Ilmuwan Nuklir - dapat diakses pada laman pewarta-indonesia.com).
Belum lagi potensi-potensi BATAN lainnya yang kewenangannya bersumber dari UU Ketenaganukliran, bagaimanapun hanya 2 Pasal tentunya belum menjadi dasar kuat merubah bentuk BATAN menjadi BUMNÂ (ini seperti spoiler dari tulisan Bagian Ke-2, sebagaimana saya uraikan di awal ekonomi dan hukum pasti saling berkaitan satu sama lainnya).Â
Sejarah Lembaga Pemerintah Menjadi BUMN
Dalam sejarah Indonesia, pernah adakah contoh lembaga pemerintah diubah menjadi BUMN? Jawabnya ada, yaitu BULOG. BULOG dulu sebelum reformasi adalah lembaga pemerintah yang bertugas mengamankan penyediaan dan stabilisasi pangan. Memang banyak pendapat bahwa BULOG berubah menjadi BUMN karena tekanan IMF.Â
Tapi, jika dianalisis lebih mendalam memang BULOG lebih cocok menjadi sebuah badan usaha. BULOG membeli beras dari petani (atau impor), kemudian menjualnya ke masyarakat. Ini kan adalah bentuk transaksi bisnis. Masa negara (dalam bentuk lembaga pemerintah) berbisnis sih dengan rakyatnya.