Menurut pembagian dalam Peraturan Perundang-undangan (meskipun dari sisi saintifik kurang tepat), pengusahaan ketenaganukliran di Indonesia dibagi ke dalam 2 kluster besar, yaitu bidang Instalasi dan Bahan Nuklir (IBN) dan bidang Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif (FRZR).Â
Selama 6 tahun saya berkecimpung di dunia ketenaganukliran (saya seorang sarjana hukum, dan sebelum 2014 sama sekali tidak tahu kalau Indonesia ada pemanfaatan tenaga nuklir), saya melihat khusus di bidang IBN, belum berkembang secara signifikan, dimana izin pemanfaatan di bidang IBN ini masih sangat minim sekali; 31 izin untuk IBN berbanding 13.180 izin di bidang FRZR (ya anda sedang tidak salah baca ada 13.180 pemanfaatan tenaga nuklir bidang FRZR di Indonesia, dimana teknologi nuklir sudah dimanfaatkan secara masif di bidang industri dan kesehatan) - data Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) per Mei 2020.
Pemanfaatan tenaga nuklir di bidang IBN bisa dikatakan semuanya dijalankan hanya oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), yang merupakan Badan Pelaksana menurut UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (UU Ketenaganukliran). Ada 3 rektor nuklir riset yang dioperasikan oleh BATAN, bahkan Reaktor Nuklir Serba Guna GA Siwabessy di bilangan Serpong (bersebelahan dengan lokasi perumahan kota mandiri terbesar di Indonesia) adalah reaktor nuklir riset terbesar di belahan bumi bagian selatan, dan sudah beroperasi secara selamat dan aman sejak 1987 (fyi dulu insinyur-insinyur nuklir dari negaranya oppa Lee Min Ho dan grup musik K-Pop Blackpink belajar di sini dari insinyur-insinyur BATAN).Â
BATAN sendiri adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang berdiri sejak 5 Desember 1958. Menurut pendapat saya, bentuk BATAN sebagai LPNK ini adalah salah satu faktor mengapa BATAN tidak dapat mendorong ketenaganukliran semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat, boro-boro Go PLTN (yang menurut banyak pihak perlu penelitian dan pengkajian lebih mendalam, emangnya 61 tahun lebih meneliti kurang dalam ya? Asli, diri ini gagal faham).Â
Sejak pertama kali membaca UU Ketenaganukliran, saya sudah berpendapat bahwa untuk dapat memaksimalkan potensi ketenaganukliran, BATAN harus ditransformasi menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan untuk pendapat ini waktu itu saya diomelin salah seorang mantan pimpinan instansi saya (yaiyalah anak baru seumur jagung tau apa sih? Hehehe).Â
Setidaknya ada 2 perspektif alasan yang mendasari saya berpendapat demikian, yakni alasan dari perspektif hukum dan alasan dari perspektif ekonomi. Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengutarakan pendapat saya, mengapa BATAN harus menjadi BUMN dari perspektif hukum terlebih dahulu.Â
Dalam kesempatan berikutnya, saya akan mencoba menguraikan alasan dari perspektif ekonomi, meskipun alasan dari perspektif ekonomi juga berkaitan dengan hukum dan juga sebaliknya (kalau dulu saya masih kuliah ini namanya Analisis Ekonomi dari Hukum disingkat ANEH).Â
Mengapa sih saya mengomentari BATAN dan bukan sang regulator BAPETEN? Apa karena saya bekerja di BAPETEN? Sebenarnya ada juga kritik dan komentar saya terhadap BAPETEN, tapi sebagaimana dunia sepakbola, lebih seru mengomentari pemainnya seperti Messi, CR7, Ibrahimovic, atau bahkan rivalitas pelatih sekelas Mourinho, Guardiola, dan Klopp, daripada mengomentari FIFA atau federasi sepakbola masing-masing negara. Saya janji, kritik dan komentar terhadap BAPETEN pasti akan saya tulis di lain kesempatan.Â
Pasal 9 UU Ketenaganukliran
Pasal 9 UU Ketenaganukliran berbunyi sebagai berikut:
(1) Penyelidikan umum, eksplorasi, dan eksploitasi bahan galian nuklir hanya dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.Â