Tantangan di depan Islam sekarang bukan tidak adanya sendi-sendi modernisasi di dalamnya, tetapi lenyapnya sendi-sendi tersebut dari kesadaran nasionalisme kita.Â
Tragedi transformasi sosial sejak munculnya kebangkitan Arab modern, adalah bahwa kita menghendaki merubah realitas namun dengan pemikiran kekuasaan.Â
Sementara itu budaya oposisi diekspor oleh kalangan elit penganut marxisme, liberalisme dan nasionalisme. Karena itu mereka dengan mudah dituduh sebagai ateis, komunis dan ide-ide impor dan westernisasi.Â
Ketika berlangsung transformasi realitas Arab dengan menggunakan budaya oposisi yang diambil dari endapan mental lama yang terdapat dalam turas Mu'tazilah, Khawarij, Syi'ah, al Hallaj, ahli ushul fiqih, Ibnu Rusyd dan di kalangan pelaku revolusi Qaramitah dan budak Afrika, kita mampu menghadapi tantangan zaman.Â
Maka jangan sampai setelah itu revolusi kita surut dan berubah menjadi anti revolusi dari dalam dan jangan sampai berhenti gerakan transformasi sosial atau kepentingan elit penguasa terus berlangsung.22
Hasan Hanafi menyatakan kiri Islam bukanlah bersumber dari ideologi Timur atau Barat, tetapi kiri Islam bersumber dari Islam. Kiri Islam bukanlah modernisme dan postmodernisme, tetapi kiri Islam merupakan jalan ketiga atau alternatif pembebasan terhadap nestapa sosial yang menimpa manusia di era modernisme dan postmodernisme.Â
Kiri Islam menghiasi postmodernisme dengan paradigma tauhid. Persoalan teknologisasi yang nihil spritualitas keagamaan akan tercover dalam pandangan dunia tauhid yang terimplemantasi dalam Islam serta merefleksikan nilai-nilai ketauhidan tersebut untuk menyelesaikan persoalan primordial keagamaan yang dimunculkan oleh postmodernisme melalui gerkan kiri Islam.
23 Sebagaimana yang dinyatakan Akbar S. Ahmed bahwa umat Islam harus berkecimpung dalam pertarungan dunia global dengan memanfaatkan teknologi media massa tanpa harus melepaskan identitas keislamannya.
 Â
15 Radhar Panca Dahana, Jejak Posmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia (Yogyakarta: Bentang, 2004), h. 24.
16 Peter L. Berger, The Sacred Canopy (Jakarta: LP3ES, 1991), h. 59.