Pada dasarnya, agama merupakan entitas (fitrah) yang tidak dapat dilepaskan dari esensi manusia.18 Apabila agama dihilangkan dalam kehidupan manusia, maka ikatan moral dan etika normatif akan hilang dalam kehidupan manusia, sehingga mereka akan terjebak pada tindakan pragmatisme, positivisme dan hedonisme yang standar kebenarannya diproduksi rasionalitas.Â
Sehubungan dengan hal ini, Rudolf Otto dalam karyanya Idea of the Holy menyatakan bahwa dalam ruang terdalam dari diri manusia terdapat struktur a priori terhadap sesuatu yang irrasional.Â
Keinsafan keagamaan (sensus religius) merupakan salah satu struktur a pariori religius yang terpenting dalam kehidupan manusia, oleh karena itu agama merupakan dimensi yang paling asasi dalam kehidupan manusia. Melepaskan agama dalam kehidupan manusia sama saja dengan menghilangkan  identitas kemanusiaan dari manusia itu sendiri.Â
Berdasarkan tradisi Hegelian kemunculan postmodernisme merupakan antitesis dari modernisme. Munculnya postmodernisme ditandai dengan semakin bergairahnya kembali aktivitas keagamaan dalam kehidupan masyarakat modern.Â
Bahkan manusia modern banyak yang melakukan eskapisme untuk berlindung di balik ketenangan kejiwaan yang ditawarkan dalam agama dan berbagai tradisi mistis yang berkembang di dunia Timur. Postmodernisme mendekonstruksi akurasi kemapanan rasionalitas dan dipertanyakan kembali eksistensi dan kredibilitasnya.Â
Selain itu, semua institusi yang dianggap mapan dipertanyakan kembali eksistensinya melalui pembentukan institusi tandingan yang bertindak sebagai otokritik dan antitesis terhadapnya. Tidak mengherankan apabila agama sebagai institusi kemapanan juga dikritik dengan memunculkan institusi keagamaan lainnya.Â
Kenyataan ini dapat dilihat dengan munculnya berbagai kegiatan keagamaan sempalan (pseudo spritual) fundamental yang berada di luar kemapanan agama konvensional. Misalnya, di Indonesia ditandai dengan kemunculan gerakan keagamaan aliran Salamullah, Madi, Ahmadiyah, Darul Arqam, Islam Kejawen dan sebagainya yang dianggap berafiliasi dengan Islam.Â
Selain itu, di berbagai belahan dunia lain muncul gerakan Children of God, saksi Jehovah, Aum Shinrokyu dan sebagainya.19 Kenyataan tersebut sesuai sebagaimana yang disebutkan oleh Patricia Aburdene dan John Neisbitt bahwa "spirituality, yes, organized religion, no". Hal ini berarti kesadaran spritualitas tidak harus terikat dengan ikatan formal agama yang terlembagakan dalam kitab suci.Â
Bersumber dari kenyataan tersebut maka muncul berbagai gerakan keagamaan ekstrim dan fundamental yang berusaha menggugat eksistensi keagamaan yang konvensional. Munculnya gerakan keagamaan sempalan tersebut merupakan paradoks sosial yang ditimbulkan oleh postmodernisme.20Â
Secara samar-samar dapat diidentifikasi sifat dari postmodernisme, di antaranya: Pertama. Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern. Kata "post" atau "pasca" sendiri secara literal mengandung pengertian sesudah.Â
Dengan pandangan ini, modernisasi dipandang telah mengalami proses akhir, yang akan digantikan dengan zaman berikutnya, yaitu postmodernisme. Pandangan ini agak mirip dengan Daniel Bell tentang masyarakat pasca industri. Kedua.Â