Ada truma masa lalu, ada faktor genetik dan lain-lain yang membuat manusia akhirnya mengidentifikasi diri ke dalam salah satu huruf LGBT itu. Alasan yang paling masuk akal, untuk mencegah tampilan lelaki kemayu ini adalah kita semakin permisif. Semakin sering menonton lelaki-lelaki kemayu tampil di TV akhirnya mengangap mereka normal saja.
Mengangap mereka normal saja, seperti pisau bermata dua. Baik, untuk kehidupan sosial para pelaku LGBT yang kadang diperlakukan kelewat batas oleh manusia lain yang merasa normal. Buruk, LGBT seperti pengeroposan tulang yang melemahkan sendi agama, tatanan sosial dan moral bangsa.
Jadi maksud  loh, tontonan alay itu tinggal meneruskan saja apa yang sudah ada. Kontent tontonan alay itu merupakan bagian budaya Indonesia begitu ?
Kalau mau jujur, iya begitulah adanya kita.Â
Difinisi budaya itu adalah : Suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari berbagai unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Seperti yang kita obrolin di atas, ejek mengejek dengan julukan, sudah berkembang dan dimiliki dalam konteks ini dimegerti oleh semua anggota komunitas. Akhirnya, menjadi bagian budaya "bercanda" kita.Â
Lalu kenapa perlakuan tontonan alay berbeda dengan seni pertunjukan tradisional ?
Paparan budaya hiburan dan canda tradisional, sporadis dan terlokalisir (istilah zaman orde baru) Sporadis, karena setiap daerah punya gaya berbeda. Gaya canda Betawi, tidak cocok dibawa ke Padang. Terlokalisir, lokasi dan waktu pentas amat terbatas. Drama hiburan tradisional, tidak main dari sahur sampai beduk Magrib. Tidak juga manggung, 7 hari dalam seminggu di 15 stasiun TV.Â
Jadi maksudnya,tidak ada alasan untuk melarang tayangan alay?
Siapa bilang! di hutan saja ada Hukum Rimba apa lagi di televisi.
Stasiun penyiaran televisi dan radio termasuk media massa, mempunya fungsi sosial dan terikat dengan peraturan perundang-undangan.