Sesaat terdiam. Ku tatap kedua anakku, penuh rasa iba. Mereka balik menatapku. Mataku berkaca-kaca kala menyambut tatap polos mereka.
"Jika ibu dan bapak gembala tak keberatan, kami mohon, izinkanlah kami untuk tinggal bersama di sini. Di pastori ini." dengan suara tertahan, aku memohon.
"Loh, ada apa bu Joni?" sontak ia kaget dengar permintaanku, kemudian melanjutkan ....
"Apa yang telah terjadi, bu?" Â
Sesaat berlalu, kemudian ....
"Sudah tiga bulan terakhir ini kami sangat tertekan di rumah. Entah apa, ayah anak-anak ini berubah menjadi sangat pemarah. Setiap hari, hampir tak ada yang benar baginya. Semuanya serba salah. Kesalahan kecil bisa menyemburkan kemarahan besarnya. Suasana di rumah begitu menyesakkan hati ....
"Ada apa dengan pak Joni?" selanya dengan wajah penuh heran.
"Entahlah bu, saya pun tak tahu sebabnya. Anak-anak ini sering dibuat ketakutan berhadapan dengan ayahnya. Kemarin sore. Hanya karena sebuah kesalahan kecil, lupa memasukan sepeda ayahnya yang kehujanan di luar rumah. Ben dihukum secara keras, dipukul layaknya orang dewasa."
"Wah, kok bisa demikian. Itu bukan seperti pak Joni yang saya kenal!"
Benar sekali, kami merasa seperti kehilangan dirinya akhir-akhir ini.
"Bu Joni, saya prihatin dengan apa yang sedang Ibu dan anak-anak alami. Tapi, mengapa beliau bisa seperti itu? Jangan-jangan karena beliau sedang menghadapi banyak masalah dikantornya?" sela Ibu gembala.