Lebih jauh lagi, saya berhipotesa bahwa kata-kata yang disusun oleh huruf-huruf penyusun yang  sama dalam kadar tertentu akan memiliki kaitan atau hubungan makna. Misalnya, ramadha-radhama-maradha-madhara-dhamara-dharama.Â
Keenam kata tadi tersusun dari kombinasi tiga huruf yang sama, yaitu ra-mim-dhad. Perbedaan makna nantinya bisa dilacak dari penekanan pada makna huruf mana yang paling kuatnya.Â
Hipotesis ini akan membawa kita kepada sebuah tesis bahwa bahasa itu awalnya diciptakan Allah untuk manusia yang seiring perjalanan waktu, berkembang mengalami perubahan sesuai lingkungan alam, fisiologis manusia dan faktor lainnya.Â
Saat Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab yang diyakini azali (tak berawal dalam batasan atas kehendak Allah) dan abadi (tak berakhir dalam batasa atas kehendak Allah), maka kesimpulannya bahasa pertama itu tidak lain adalah Bahasa Arab.Â
Atas dasar logika ini, seharusnya bahwa terdapatnya rahasia makna generik dari setiap huruf Hijaiyah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Paragraf ini telah melemparkan saya kembali ke tahun 1996.
Â
Pendidikan: Mempercepat Penyesalan
Saya menyesal mengapa 27 tahun lalu tidak gigih dalam berskripsi yang berakibat tidak lulus tepat waktu 4 tahun atau 8 semester. Anak-anak didik saya harus belajar dari penyesalan guru mereka. Dengan waktu kuliah yang melar, konsekuensinya kedua orang tua harus membayar uang kuliah lebih dari yang seharusnya. Bila orang lain lulus berpredikat cum laude (dengan pujian) maka saya lambat lulus dan berpredikat cum lacrimis (dengan air mata).Â
"Hakikat pendidikan memang mempercepat penyesalan," bisik hati kecil di ujung tulisan hari ke-28 Ramadan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H