Mohon tunggu...
DNA Hipotesa
DNA Hipotesa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kajian Ekonomi oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi IPB University

Discussion and Analysis (DNA) merupakan sebuah divisi di Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (Hipotesa) yang berada di bawah naungan Departemen Ilmu Ekonomi, FEM, IPB University. As written in the name, we are here to produce valuable analysis of the economy, while building a home for healthy economic discussions. All of this is aimed to build critical thinking which is paramount in building a brighter future for our economy.

Selanjutnya

Tutup

Money

Tarif PPN Naik, Apa Alasan dan Tujuan Pemerintah serta Dampaknya Terhadap Masyarakat dan Negara?

15 Mei 2022   17:10 Diperbarui: 15 Mei 2022   17:20 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pada tahun 2022 ini, pemerintah gencar dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional pasca terjadinya gelombang baru kasus Covid-19 varian Omicron. Terjadinya pandemi membuat pendapatan negara semakin turun dan mengakibatkan defisitnya APBN. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani pun memberlakukan kebijakan kenaikan tarif PPN dari awalnya 10% menjadi 11% yang berlaku mulai tanggal 1 April 2022. Kebijakan ini tertuang dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan sosial. UU HPP juga bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian nasional. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa alasan diberlakukannya kenaikan PPN ini adalah untuk menambah pemasukan pendapatan atau penerimaan negara untuk memperbaiki APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang mengalami defisit terus menerus selama pandemi Covid-19. Supaya kondisi APBN bisa pulih dan surplus kembali dibutuhkan terobosan baru yang dapat memulihkannya. PPN dipilih pemerintah sebagai space yang tepat untuk pemulihan APBN karena tarif PPN di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain. Jika melihat tarif PPN negara-negara anggota G20 dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) rata-rata tarif PPN di negara tersebut sebesar 15--15,5 persen. Sehingga di sini terdapat peluang yang tepat agar tarif PPN Indonesia bisa setara dengan negara lainnya sekaligus memperbaiki kondisi APBN negara yang defisit. Alasan lain kenaikan tarif PPN yaitu untuk memperkuat fondasi pajak pada perekonomian negara. Sebagaimana diketahui pajak berperan besar pada penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran negara, termasuk membiayai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang hingga saat ini masih berlanjut.

Untuk memahami kebijakan kenaikan tarif PPN ini, sebelumnya kita harus memahami terlebih dahulu apa itu PPN dan bagaimana mekanisme kebijakan kenaikan tarif tersebut. 

Konsep PPN dan Mekanisme PPN pada UU HPP No.7 Tahun 2021

PPN atau Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri oleh wajib pajak pribadi, badan, dan pemerintah.  PPN merupakan pajak tidak langsung, yang artinya penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak melainkan, membayar pajak melalui pedagang lalu pedangan akan menyetorkan pajak tersebut.  PPN telah diatur oleh Undang-Undang No.42 Tahun 2009 dan perubahan terbarunya pada UU HPP No.7 Tahun 2021.

Dalam penerapanya, terdapat barang/jasa yang terkena dan tidak terkena PPN.  Berikut merupakan daftar barang-barangnya:

  1. Barang/Jasa yang dikenakan PPN:

  • Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha

  • Impor barang kena pajak

  • Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean

  • Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean

  • Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)

  • Kegiatan membangun sendiri bangunan dengan luas lebih dari 200 meter persegi yang dilakukan di luar lingkungan perusahaan dan/atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain

  • Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat perolehan aktiva tersebut boleh dikreditkan.

  1. Barang/Jasa tidak terkena PPN:

  • Barang hasil pertambangan atau pengeboran seperti minyak mentah, gas alam, batu bara dan lain-lain

  • Barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, daging, dan lain-lain

  • Makanan dan minuman yang disajikan di rumah makan atau restoran

  • Uang dan emas batangan

  • Jasa pelayanan medis

  • Jasa pelayanan sosial 

  • Jasa keuangan

  • Jasa asuransi

  • Jasa keagamaan

  • Jasa pendidikan

  • Jasa kesenian dan hiburan

  • Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan

  • Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara

  • Jasa perhotelan

  • Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum

  • Jasa penyediaan tempat parkir

  • Jasa boga atau katering

Adapun salah satu alasan mengapa barang/jasa tersebut tidak termasuk PPN terdapat pada UU No.42 Tahun 2009 yaitu barang tersebut merupakan kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat.  Namun, Pada pembaruan terbaru mengenai PPN yaitu UU HPP No.7 Tahun 2021 terdapat barang/jasa yang dikeluarkan dari barang tidak terkena PPN.  Barang/jasa tersebut ialah barang kebutuhan pokok, jasa pelayanan medis tertentu, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa pendidikan, jasa angkutan angkutan umum, jasa pelayanan sosial, dan jasa tenaga kerja.  Meski begitu, dalam kenaikan PPN menjadi 11% terdapat barang/jasa yang dikeluarkan dari daftar barang/jasa tidak terkena PPN namun, menjadi barang/jasa yang bebas PPN.  Bebas PPN berbeda dengan tidak terkena PPN.  Barang/jasa yang dibebaskan PPN antara lain adalah barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, vaksin, buku pelajaran dan kitab suci.  Tujuan dibebaskannya PPN pada barang/jasa tersebut diantaranya adalah:

  1. Meningkatkan pengadaan vaksin

  2. Meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran, kitab suci dan buku pelajaran agama yang harganya relatif murah

  3. Mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis untuk pembangunan nasional

Selain terdapat barang/jasa yang dibebaskan PPN, ekspor barang dan jasa dikenakan tarif 0% PPN.  Pemberlakuan tarif 0% terjadi atas ekspor barang/jasa kena pajak untuk konsumsi di luar daerah Pabean (Republik Indonesia).  Tarif 0% PPN tidak sama dengan bebas PPN.  Nantinya pajak masukan yang diperoleh dari barang/jasa kena pajak yang terkait dengan ekspor dapat dikreditkan kembali.  

Pro Kontra Pemberlakuan Kebijakan Kenaikan PPN

Kenaikan PPN menjadi pro dan kontra ditengah masyarakat luas. Yang menjadi perhatian masyarakat tentu saja adalah waktu dari pelaksanaan kebijakan. Selain bertepatan dengan bulan Ramadhan, kejadian langkanya BBM akibat perang Rusia-Ukraina, dan diikuti dengan terkereknya harga barang-barang substitusi energi dan komoditas lainnya, seperti batubara dan kelapa sawit, juga mendorong naiknya hampir semua harga barang dan jasa. Dengan adanya kenaikan tarif tersebut semakin menyulitkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Namun demikian, sebenarnya kenaikan PPN itu diimplementasikan tepat waktu di tengah-tengah momentum ekonomi masyarakat yang mulai membaik, setelah sebelumnya dilumpuhkan oleh pandemi Covid-19. Pihak pro berpendapat bahwa kenaikan PPN ini sudah tepat dikarenakan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dimana hal ini berdampak bagi pemulihan ekonomi karena dapat menunjang berbagai subsidi bagi masyarakat kurang mampu dan pembangunan bagi masyarakat. Pendapat ini didukung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dimana beliau berpendapat bahwa PPN sangat berkaitan dengan kemampuan konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah menyalurkan bantuan sosial atau subsidi untuk menjaga tingkat konsumsi masyarakat, khususnya lapisan bawah. Jika ditunda, program-program perlindungan sosial akan turut terimbas. Potensi penerimaan negara juga akan semakin rendah, sementara belanja perlindungan sosial masih menjadi kebutuhan utama di tengah pandemi.

Tetapi poin penting yang harus dijadikan catatan adalah kenaikan PPN 11 persen tidak berpengaruh pada barang dan jasa yang bersifat strategis seperti bahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak contohnya beras, telur, dan kedelai, jasa pendidikan, dan kesehatan. Tidak ada niat pemerintah untuk memberatkan masyarakat. Namun, menurut Pemimpin Umum DDTCNews, Darussalam mengatakan bahwa  dari implementasi penerapan PPN di banyak negara, pengecualian sejumlah barang kebutuhan pokok dari PPN justru akan lebih banyak dinikmati oleh kelompok berpenghasilan menengah ke atas. Artinya, kebijakan ini justru dinilai salah sasaran dalam arti khusus. Karena menurutnya masyarakat tidak mampu kebanyakan konsumsi di pasar tradisional yang tidak ada mekanisme PPN. Sehingga walaupun diberikan insentif, mereka tidak menikmati. PPN ini berlaku di pasar modern yang ada mekanisme PPN. Sehingga yang menikmati fasilitas PPN ini justru masyarakat mampu.

Perlu diketahui juga bahwa adanya kenaikan tarif PPN diikuti oleh perubahan aturan pajak lainnya yang menguntungkan masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Salah satu perubahan yang menjadi sorotan penting yaitu perluasan bracket tarif 5 persen Pajak Penghasilan (PPh) yang juga diatur dalam UU HPP. Sehingga di sini terjadi keseimbangan yakni walaupun masyarakat harus membayar PPN lebih tinggi ketika mengonsumsi barang atau jasa kena pajak, tetapi kini masyarakat juga akan membayar pajak penghasilan yang lebih rendah.

Dampak peningkatan PPN

Pada dasarnya dampak dari peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat terlihat dari dua sisi, yang pertama dari sisi wajib pajak dan juga dampaknya dari sisi penerimaan negara. Bagi wajib pajak, tentu hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa peningkatan PPN sebesar 1% ini akan memberatkan keadaan mereka, terlebih lagi situasi pandemi masih berlangsung dan perekonomian negara pun belum pulih sepenuhnya. Akan tetapi menurut para ahli bahwa dampak dari kenaikan PPN hanya akan bersifat terbatas, hal tersebut ditengarai karena pemerintah turut melakukan penyesuain tarif PPN dibarengi dengan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang atas pribadi sampai dengan RP 60 juta, yang semula nilainya 15% menjadi 5%. Selain itu,pemerintah juga sudah banyak memberikan fasilitas PPN bagi barang dan jasa tertentu, sehingga kemungkinan besar efek ini hanya akan dirasakan oleh masyarakat golongan menengah dan atas, sedangkan masyarakat golongan bawah hanya akan merasakan dampak yang minim.

Setelah 1 bulan kebijakan ini diterapkan, tidak seperti yang ditakutkan masyarakat bahwa ppn akan memperparah inflasi. Inflasi pada April 2022 tercatat sebesar 0,95% mtm. Realisasi ini tertinggi sejak Januari 2017 yang saat itu sebesar 0,97%. Salah satu penyebab inflasi adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dimulai pada 1 April 2022. Tidak tinggi, namun tetap memberikan andil sekitar 0,01%. Dampak kenaikan PPN masih sangat kecil dikarenakan tidak semua barang terdampak. Seperti bahan pokok yang memang dibebaskan dari fasilitas PPN.

Disisi lain, Ekspektasi konsumen terhadap perkembangan kegiatan usaha ke depan melemah dibandingkan dengan bulan sebelumnya, meski masih tercatat pada zona optimis. Bank Indonesia (BI) mencatat, Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha turun menjadi 125,0 pada April 2022, dari level 125,8 pada Maret 2022. Penurunan tersebut disebabkan kekhawatiran responden terhadap melemahnya daya beli masyarakat akibat dampak kenaikan harga beberapa komoditas seperti minyak goreng dan BBM, serta diberlakukannya PPN 11 persen, hal ini terutama terjadi pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan. Penurunan indeks ini juga menjadi salah faktor turunnya Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) April 2022 menjadi sebesar 127,2, dari 128,1 pada Maret 2022.

Selain dari sisi dampak terhadap daya beli masyarakat, dampak dari PPN pun dapat dilihat dari sisi dampak terhadap penerimaan negara. Kenaikan PPN yang dilakukan pemerintah memang dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dan juga untuk memperbaiki neraca APBN, dan juga PPN ditunjukkan untuk kesinambungan fiskal, karena APBN juga harus dinikmati oleh generasi mendatang. Menurut lembaga Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengemukakan berdasarkan risetnya bahwa kenaikan PPN ini diproyeksikan akan membuat penerimaan dari PPN berada disekitar  Rp 1.335,3 triliun di akhir tahun 2022, lebih tinggi 8,5% dari tahun lalu yang sebesar Rp 1.299,58 triliun. Kenaikan dari PPN ini tentunya akan digunakan pemerintah untuk program pemulihan ekonomi seperti vaksinasi, insentif ekonomi dsb.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun