Isu serangan Rusia ke Ukraina, sudah bergulir sejak November 2021. Sebuah citra satelit menunjukkan penumpukan baru pasukan Rusia di perbatasannya dengan Ukraina. Moskow diyakini Barat memobilisasi 100.000 tentara bersama dengan tank dan perangkat keras militer lainnya.Â
Puncaknya pada 21 Februari 2022, Putin memberi pengumuman mengakui kemerdekaan milisi Donbas, Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR).Â
Pada saat itu, dekrit pengiriman pasukan dengan dalih "menjaga keamanan" juga ditandatanganinya. Sehari setelahnya parlemen Rusia menyetujui mobilisasi tentara yang diusulkan Putin.Â
Persis 24 Februari, Putin tiba-tiba mengumumkan "operasi militer" dan serangan dilakukan di sejumlah kota. Barat menyebut tindakan Rusia tersebut sebagai invasi, sementara AS dan sekutu menyebut Rusia melanggar kedaulatan negara lainnya.
Pada mulanya, sebelum tahun 1990 atau ketika Perang Dingin terjadi, Ukraina dan Rusia bersatu dalam sebuah negara federasi bernama Uni Soviet.
Pada 1991, Uni Soviet dan Pakta Warsawa bubar. Di tahun yang sama, Ukraina memberikan suara untuk memerdekakan diri dari Uni Soviet dalam sebuah referendum. Presiden Rusia Boris Yeltsin pada tahun itu, menyetujui hal tersebut.Â
Selanjutnya Rusia, Ukraina dan Belarusia membentuk Commonwealth of Independent States (CIS). Namun perpecahan terjadi. Ukraina menganggap bahwa CIS adalah upaya Rusia untuk mengendalikan negara-negara di bawah Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet. Pada Mei 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani perjanjian persahabatan.Â
Hal tersebut adalah upaya untuk menyelesaikan ketidaksepakatan. Rusia diizinkan untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas kapal di armada Laut Hitam yang berbasis di Krimea, Ukraina. Rusia pun harus membayar biaya sewa kepada Ukraina karena menggunakan Pelabuhan Sevastopol. Namun, sejak 2014 hubungan Rusia dan Ukraina kembali memanas.Â
Pada saat itu muncul revolusi menentang supremasi Rusia. Massa anti pemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Kerusuhan bahkan sempat terjadi sebelum berdamai di 2015 dengan kesepakatan Minsk.Â
Revolusi juga membuka keinginan Ukraina bergabung dengan Uni Eropa (UE) dan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Hal tersebut membuat Putin marah karena prospek berdirinya pangkalan NATO di sebelah perbatasannya.Â
Hal ini juga didukung semakin eratnya hubungan sejumlah negara Eropa Timur dengan NATO, sebut saja Polandia dan negara-negara Balkan. Saat Yanukovych jatuh, Rusia menggunakan kekosongan kekuasaan untuk merebut Krimea di 2014. Rusia juga mendukung separatis di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk, untuk menentang pemerintah Ukraina.