Banjir di Jakarta jelas sulit dihilangkan. Apalagi Jakarta memiliki tiga jenis banjir, yakni banjir lokal, banjir rob, dan banjir kiriman.Â
Dulu dengan wilayah resapan yang banyak sebagaimana tergambar dari wilayah-wilayah yang memakai nama kebon (Kebon Nanas, Kebun Jeruk, dsb), hutan (Utan Kayu, Utan Panjang, dsb), rawa (Rawabuaya, Rawajati, dsb), dan pulo (Pulo Mas, Pulo Gadung, dsb), banjir masih saja terjadi.Â
Kini paling-paling hanya bisa diminimalisasi dengan pembuatan situ atau bendungan di daerah atas (penyangga), revitalisasi/normalisasi sungai, dan pembangunan kanal/saluran/sodetan di dalam kota. Negara maju pun sulit menghindari banjir karena alam memang sangat sukar diajak bersahabat.
Kearifan lingkungan
Kita rupanya salah memandang makna air. Di musim hujan air dianggap musibah. Sebaliknya di musim kemarau, air begitu dicari-cari. Seharusnya keberadaan air adalah anugerah.Â
Manajemen pengelolaan air kita memang masih belum bagus. Â Sesungguhnya upaya terbaik adalah membuat sarana penampungan air (waduk, bendungan, situ, danau) yang kemudian bisa digunakan apabila tiba musim kering.
Masyarakat masa kini tidak memiliki kearifan lingkungan jelas karena masalah ekonomi. Padahal kearifan lingkungan adalah kunci ketenteraman hidup sejak ratusan tahun lalu.Â
Dulu keberhasilan menyelaraskan lingkungan hidup disebabkan persepsi masyarakat kuno terhadap alam sering kali dikaitkan dengan filsafat agama.
Pada abad ke-9---ke-10 masyarakat Jawa kuno, sebagaimana isi beberapa prasasti dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, sudah mengenal organisasi yang berkenaan dengan lingkungan hidup. Kehadiran organisasi ini menyebabkan kelestarian lingkungan terjaga dengan aman.Â
Di antara sejumlah jabatan di kerajaan, beberapa petugas yang berhubungan dengan lingkungan hidup disebutkan di dalam prasasti-prasasti itu.Â
Misalnya saja tuha alas, juru alas, atau pasuk alas (menunjukkan profesi pengawas kehutanan) yang terdapat pada Prasasti Jurungan (876 M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830), Kubukubu (905), Cane (1021), Sarsahan (908), dan Kaladi (909). Selain itu, ada jabatan tuhaburu, yakni pejabat yang mengurusi masalah perburuan binatang di hutan.