Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Masalah Banjir, di Belanda Ada Amsterdam, di Indonesia Ada "Terendam"

30 Mei 2022   07:28 Diperbarui: 13 Juni 2022   18:30 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir Jakarta 2007 (Sumber: Lasti Kurnia/Kompas via megapolitan. kompas.com)

Pertengahan Januari 2013 Jakarta dilanda banjir besar. Sebelumnya banjir sejenis yang dianggap siklus lima tahunan terjadi pada 1997, 2002, dan 2007. 

Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kali itu wilayah yang dilanda banjir semakin luas. Kanal Banjir Timur yang diharapkan mampu menanggulangi banjir, terlihat masih belum membantu. 

Tragisnya, wilayah yang sebelumnya tak pernah dilanda banjir hebat, kini justru ikut menderita karena jebolnya Tanggul Latuharhary dan Waduk Pluit. Baru setelah 2013 Kanal Banjir Timur mulai mengurangi dampak banjir.

Apakah penyebab banjir? Ada yang berpendapat ini semua karena faktor cuaca yang ekstrem dan curah hujan yang tinggi. Ada pula yang berpandangan karena ulah manusia, utamanya kerusakan lingkungan akibat penebangan pohon, penyempitan sungai, dan pendangkalan.

Banjir Jakarta banyak mendapatkan sorotan media dalam negeri dan luar negeri. Ini karena fenomena Jokowi dan politik nasional menjelang Pemilu 2014. 

Banjir Jakarta konon disebabkan adanya KKN pada pemerintahan sebelumnya. Sejumlah pengamat menuding, banyak ruang terbuka hijau yang diurug menjadi mal, apartemen, perumahan, dan fasilitas properti lainnya.

Bulan basah

Umumnya banjir di Jakarta terjadi pada bulan Januari-Februari karena merupakan puncak bulan basah, yakni bulan yang curah hujannya lebih dari 100 milimeter. Pada bulan-bulan ini pun tanah sudah jenuh dengan air karena penguapan air sangat kecil.

Banjir Jakarta diketahui sudah terjadi sejak abad ke-5 Masehi, sebagaimana informasi dari Prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Tanjung Priok. 

Prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanagara, menyebutkan pembuatan saluran Gomati dan Candrabhaga. Ditafsirkan kedua saluran besar itu berfungsi untuk mengendalikan  banjir.

Pemerintah kolonial Belanda pun sudah sedari awal dipusingkan dengan banjir dan tata kelola air Batavia. 

Banjir besar pertama tercatat pada 1621, padahal Batavia yang berdiri pada 1619 itu sudah dilengkapi sistem kanal. Banjir-banjir kecil pun hampir setiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota. Banjir besar lain terjadi pada 1654.  

Keadaan semakin parah setelah meletusnya Gunung Salak pada 1699. Karena itu pada 1701 dikirim ahli-ahli hidrologi untuk melakukan penelitian di daerah hulu sungai di Ommelanden, luar kota Batavia. 

Menurut para peneliti, daerah hulu sungai Ciliwung sampai hilir di perkebunan tebu Cornelis Chastelein telah bersih ditebangi. Akibatnya aliran sungai Ciliwung yang masuk kota semakin kecil, terlebih karena banyaknya pengalihan aliran sungai Ciliwung untuk kepentingan irigasi. Sungai Cisadane juga mengalami pengendapan. 

Pada 1780 sebagian besar daerah Batavia telah berubah menjadi "gua dan reruntuhan". Bahkan kemudian, Pemerintah Batavia kerepotan menghadapi masalah sampah dan kebersihan kota (Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal, 2010).

Sejak lama memang diyakini masalah banjir Jakarta dapat diatasi dengan membangun kanal, terusan, sodetan, dan saluran. Dulu salah satu kiat Belanda untuk mengatasi banjir di Batavia adalah membuat saluran dari Harmoni lurus ke laut membelah Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk sekarang. 

Ketika itu kota dihuni oleh sedikit manusia dan belum banyak tertimbun sampah. Sayang kemudian penyelesaian masalah banjir hanya ditangani secara temporer.  

Ketika meninjau banjir 2013 itu, Presiden SBY memutuskan pembuatan sodetan Ciliwung ke Kanal Banjir Timur untuk mengurangi dampak banjir (Kompas, 21/01/2013).

Namun sejatinya masalah utama di Jakarta adalah faktor geografis karena Jakarta terletak di dataran yang sangat rendah. Di beberapa tempat ketinggian permukaan tanahnya, hanya beberapa sentimeter dari permukaan laut (dpl). 

Bahkan sebagian di bawah permukaan laut dalam bentuk rawa-rawa. Dengan demikian tingkat sedimentasi yang tinggi di sungai-sungainya membuat air tidak dapat mengalir sesuai hukum gravitasi, yakni dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. 

Maka kanal-kanal yang tadinya diharapkan dapat membantu menggelontorkan air hujan dengan cepat ke Teluk Jakarta, tak dapat berfungsi maksimal. 

Tragisnya, semakin tahun permukaan tanah di Jakarta semakin menurun. Akibatnya air laut telah merembes masuk ke wilayah Senen. Hal ini tentu saja memperparah daerah resapan.

Banjir di Jakarta jelas sulit dihilangkan. Apalagi Jakarta memiliki tiga jenis banjir, yakni banjir lokal, banjir rob, dan banjir kiriman. 

Dulu dengan wilayah resapan yang banyak sebagaimana tergambar dari wilayah-wilayah yang memakai nama kebon (Kebon Nanas, Kebun Jeruk, dsb), hutan (Utan Kayu, Utan Panjang, dsb), rawa (Rawabuaya, Rawajati, dsb), dan pulo (Pulo Mas, Pulo Gadung, dsb), banjir masih saja terjadi. 

Kini paling-paling hanya bisa diminimalisasi dengan pembuatan situ atau bendungan di daerah atas (penyangga), revitalisasi/normalisasi sungai, dan pembangunan kanal/saluran/sodetan di dalam kota. Negara maju pun sulit menghindari banjir karena alam memang sangat sukar diajak bersahabat.

Sampah menyumbat pintu air Manggarai (Sumber: kompas.com)
Sampah menyumbat pintu air Manggarai (Sumber: kompas.com)

Kearifan lingkungan

Kita rupanya salah memandang makna air. Di musim hujan air dianggap musibah. Sebaliknya di musim kemarau, air begitu dicari-cari. Seharusnya keberadaan air adalah anugerah. 

Manajemen pengelolaan air kita memang masih belum bagus.  Sesungguhnya upaya terbaik adalah membuat sarana penampungan air (waduk, bendungan, situ, danau) yang kemudian bisa digunakan apabila tiba musim kering.

Masyarakat masa kini tidak memiliki kearifan lingkungan jelas karena masalah ekonomi. Padahal kearifan lingkungan adalah kunci ketenteraman hidup sejak ratusan tahun lalu. 

Dulu keberhasilan menyelaraskan lingkungan hidup disebabkan persepsi masyarakat kuno terhadap alam sering kali dikaitkan dengan filsafat agama.

Pada abad ke-9---ke-10 masyarakat Jawa kuno, sebagaimana isi beberapa prasasti dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, sudah mengenal organisasi yang berkenaan dengan lingkungan hidup. Kehadiran organisasi ini menyebabkan kelestarian lingkungan terjaga dengan aman. 

Di antara sejumlah jabatan di kerajaan, beberapa petugas yang berhubungan dengan lingkungan hidup disebutkan di dalam prasasti-prasasti itu. 

Misalnya saja tuha alas, juru alas, atau pasuk alas (menunjukkan profesi pengawas kehutanan) yang terdapat pada Prasasti Jurungan (876 M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830), Kubukubu (905), Cane (1021), Sarsahan (908), dan Kaladi (909). Selain itu, ada jabatan tuhaburu, yakni pejabat yang mengurusi masalah perburuan binatang di hutan.

Kemungkinan timbulnya bencana alam yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem juga sudah terpikirkan oleh masyarakat Jawa kuno. Untuk menanggulangi hal ini, Raja Airlangga pernah memerintahkan pembangunan Bendungan Wringin Sapta. 

Berkat adanya penampungan air tersebut, sebagaimana informasi dari Prasasti Kamalagyan (1037), kehidupan penduduk menjadi tenang.

Sebelumnya, Sungai Brantas sering kali menjebolkan tanggul di Wringin Sapta sehingga banyak desa di bagian hilir kebanjiran, termasuk menggenangi bangunan suci dan fasilitas lainnya. 

Tapi setelah adanya bendungan, aliran Sungai Brantas dipecah menjadi tiga bagian. "Bersukacitalah mereka yang berperahu ke arah hulu, mengambil dagangan di Hujung Galuh...," demikian sepenggal kalimat dari Prasasti Kamalagyan itu (Kresno Yulianto, Buletin Romantika Arkeologia, 1985).

Petugas lain yang disebutkan prasasti adalah hulair atau lebleb, sekarang mungkin ulu-ulu. Hulair bertugas mengurusi masalah irigasi di pedesaan. 

Berkat adanya petugas itu, lahan-lahan pertanian tidak pernah kekeringan. Bahkan desa-desa menjadi subur dan rakyatnya hidup makmur.

Dulu kemurkaan Sungai Brantas dan Bengawan Solo bisa diminimalisasi lewat pembuatan bendungan. Seharusnya keganasan Sungai Ciliwung pun mampu ditanggulangi dengan cara demikian.

Hujan masih berlangsung hingga akhir Mei 2022 ini, jadi pembicaraan masalah banjir masih hangat. Setelah tiba musim kemarau, mungkin masalah-masalah yang berkenaan dengan banjir terlupakan lagi. 

Kita tidak pernah belajar dari sejarah. Dari dulu kita selalu mengatakan akan belajar dari Belanda yang negaranya berada di bawah permukaan laut. Jangan-jangan nantinya di Belanda ada Amsterdam, di Indonesia ada Terendam sebagai nama baru Jakarta.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun