Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Masalah Banjir, di Belanda Ada Amsterdam, di Indonesia Ada "Terendam"

30 Mei 2022   07:28 Diperbarui: 13 Juni 2022   18:30 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir di Jakarta jelas sulit dihilangkan. Apalagi Jakarta memiliki tiga jenis banjir, yakni banjir lokal, banjir rob, dan banjir kiriman. 

Dulu dengan wilayah resapan yang banyak sebagaimana tergambar dari wilayah-wilayah yang memakai nama kebon (Kebon Nanas, Kebun Jeruk, dsb), hutan (Utan Kayu, Utan Panjang, dsb), rawa (Rawabuaya, Rawajati, dsb), dan pulo (Pulo Mas, Pulo Gadung, dsb), banjir masih saja terjadi. 

Kini paling-paling hanya bisa diminimalisasi dengan pembuatan situ atau bendungan di daerah atas (penyangga), revitalisasi/normalisasi sungai, dan pembangunan kanal/saluran/sodetan di dalam kota. Negara maju pun sulit menghindari banjir karena alam memang sangat sukar diajak bersahabat.

Sampah menyumbat pintu air Manggarai (Sumber: kompas.com)
Sampah menyumbat pintu air Manggarai (Sumber: kompas.com)

Kearifan lingkungan

Kita rupanya salah memandang makna air. Di musim hujan air dianggap musibah. Sebaliknya di musim kemarau, air begitu dicari-cari. Seharusnya keberadaan air adalah anugerah. 

Manajemen pengelolaan air kita memang masih belum bagus.  Sesungguhnya upaya terbaik adalah membuat sarana penampungan air (waduk, bendungan, situ, danau) yang kemudian bisa digunakan apabila tiba musim kering.

Masyarakat masa kini tidak memiliki kearifan lingkungan jelas karena masalah ekonomi. Padahal kearifan lingkungan adalah kunci ketenteraman hidup sejak ratusan tahun lalu. 

Dulu keberhasilan menyelaraskan lingkungan hidup disebabkan persepsi masyarakat kuno terhadap alam sering kali dikaitkan dengan filsafat agama.

Pada abad ke-9---ke-10 masyarakat Jawa kuno, sebagaimana isi beberapa prasasti dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, sudah mengenal organisasi yang berkenaan dengan lingkungan hidup. Kehadiran organisasi ini menyebabkan kelestarian lingkungan terjaga dengan aman. 

Di antara sejumlah jabatan di kerajaan, beberapa petugas yang berhubungan dengan lingkungan hidup disebutkan di dalam prasasti-prasasti itu. 

Misalnya saja tuha alas, juru alas, atau pasuk alas (menunjukkan profesi pengawas kehutanan) yang terdapat pada Prasasti Jurungan (876 M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830), Kubukubu (905), Cane (1021), Sarsahan (908), dan Kaladi (909). Selain itu, ada jabatan tuhaburu, yakni pejabat yang mengurusi masalah perburuan binatang di hutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun