Kemungkinan timbulnya bencana alam yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem juga sudah terpikirkan oleh masyarakat Jawa kuno. Untuk menanggulangi hal ini, Raja Airlangga pernah memerintahkan pembangunan Bendungan Wringin Sapta.Â
Berkat adanya penampungan air tersebut, sebagaimana informasi dari Prasasti Kamalagyan (1037), kehidupan penduduk menjadi tenang.
Sebelumnya, Sungai Brantas sering kali menjebolkan tanggul di Wringin Sapta sehingga banyak desa di bagian hilir kebanjiran, termasuk menggenangi bangunan suci dan fasilitas lainnya.Â
Tapi setelah adanya bendungan, aliran Sungai Brantas dipecah menjadi tiga bagian. "Bersukacitalah mereka yang berperahu ke arah hulu, mengambil dagangan di Hujung Galuh...," demikian sepenggal kalimat dari Prasasti Kamalagyan itu (Kresno Yulianto, Buletin Romantika Arkeologia, 1985).
Petugas lain yang disebutkan prasasti adalah hulair atau lebleb, sekarang mungkin ulu-ulu. Hulair bertugas mengurusi masalah irigasi di pedesaan.Â
Berkat adanya petugas itu, lahan-lahan pertanian tidak pernah kekeringan. Bahkan desa-desa menjadi subur dan rakyatnya hidup makmur.
Dulu kemurkaan Sungai Brantas dan Bengawan Solo bisa diminimalisasi lewat pembuatan bendungan. Seharusnya keganasan Sungai Ciliwung pun mampu ditanggulangi dengan cara demikian.
Hujan masih berlangsung hingga akhir Mei 2022 ini, jadi pembicaraan masalah banjir masih hangat. Setelah tiba musim kemarau, mungkin masalah-masalah yang berkenaan dengan banjir terlupakan lagi.Â
Kita tidak pernah belajar dari sejarah. Dari dulu kita selalu mengatakan akan belajar dari Belanda yang negaranya berada di bawah permukaan laut. Jangan-jangan nantinya di Belanda ada Amsterdam, di Indonesia ada Terendam sebagai nama baru Jakarta.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H