Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Masalah Banjir, di Belanda Ada Amsterdam, di Indonesia Ada "Terendam"

30 Mei 2022   07:28 Diperbarui: 13 Juni 2022   18:30 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir Jakarta 2007 (Sumber: Lasti Kurnia/Kompas via megapolitan. kompas.com)

Kemungkinan timbulnya bencana alam yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem juga sudah terpikirkan oleh masyarakat Jawa kuno. Untuk menanggulangi hal ini, Raja Airlangga pernah memerintahkan pembangunan Bendungan Wringin Sapta. 

Berkat adanya penampungan air tersebut, sebagaimana informasi dari Prasasti Kamalagyan (1037), kehidupan penduduk menjadi tenang.

Sebelumnya, Sungai Brantas sering kali menjebolkan tanggul di Wringin Sapta sehingga banyak desa di bagian hilir kebanjiran, termasuk menggenangi bangunan suci dan fasilitas lainnya. 

Tapi setelah adanya bendungan, aliran Sungai Brantas dipecah menjadi tiga bagian. "Bersukacitalah mereka yang berperahu ke arah hulu, mengambil dagangan di Hujung Galuh...," demikian sepenggal kalimat dari Prasasti Kamalagyan itu (Kresno Yulianto, Buletin Romantika Arkeologia, 1985).

Petugas lain yang disebutkan prasasti adalah hulair atau lebleb, sekarang mungkin ulu-ulu. Hulair bertugas mengurusi masalah irigasi di pedesaan. 

Berkat adanya petugas itu, lahan-lahan pertanian tidak pernah kekeringan. Bahkan desa-desa menjadi subur dan rakyatnya hidup makmur.

Dulu kemurkaan Sungai Brantas dan Bengawan Solo bisa diminimalisasi lewat pembuatan bendungan. Seharusnya keganasan Sungai Ciliwung pun mampu ditanggulangi dengan cara demikian.

Hujan masih berlangsung hingga akhir Mei 2022 ini, jadi pembicaraan masalah banjir masih hangat. Setelah tiba musim kemarau, mungkin masalah-masalah yang berkenaan dengan banjir terlupakan lagi. 

Kita tidak pernah belajar dari sejarah. Dari dulu kita selalu mengatakan akan belajar dari Belanda yang negaranya berada di bawah permukaan laut. Jangan-jangan nantinya di Belanda ada Amsterdam, di Indonesia ada Terendam sebagai nama baru Jakarta.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun