Pasti kita susah membayangkan bagaimana batu-batu candi yang berserakan itu bisa menjadi candi yang berdiri relatif megah. Hanya dalam dongeng kita mempunyai seorang tokoh bernama Bandung Bondowoso. Konon ia mampu membangun candi dalam waktu semalam.
Dalam kenyataan membangun candi butuh waktu sangat lama. Begitu pula membangun kembali candi yang batu-batunya berserakan di halaman.Â
Berkali-kali gempa bumi dan letusan gunung berapi menjadi penyebab mengapa batu-batu candi runtuh dan terpendam dalam tanah. Setelah itu ditumbuhi tanaman liar.
Selain yang masih berantakan, sebagaimana terlihat di halaman Candi Prambanan, batu-batu candi banyak ditemukan dalam ekskavasi arkeologi.Â
Pada 2021 Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah (BPCB Jateng) berhasil menemukan sejumlah batu pada Candi Gana, dekat Candi Sewu di Klaten (Jawa Tengah). Sebelumnya bernama Candi Asu karena sewaktu ditemukan banyak anjing berkeliaran di sana.
Karena jumlah batu sudah dianggap banyak, pada 2022 BPCB Jateng langsung tancap gas untuk mengadakan studi kelayakan. Studi kelayakan dimulai dengan penerjunan para pencari batu ("zoeker") dan penyetel ("steller") yang merupakan Sumber Daya Manusia langka dan terbaik.
Sumbernya di sini [Studi Kelayakan Candi Gana Dimulai]
Setelah Studi Kelayakan akan ditentukan langkah-langkah pelestarian berikutnya. Jika memenuhi kriteria, Candi Gana dapat dipugar sehingga dapat berdiri kembali.Â
Dengan demikian masyarakat dapat menikmati keagungan arsitektur Candi Gana. Candi Gana berciri Buddha, sebagaimana Candi Sewu. Diduga dibangun pada abad ke-9 Masehi.
Selain berciri Buddha, banyak candi juga berciri Hindu. Bangunan-bangunan seperti itu memiliki bentuk yang spesifik, seperti stupa pada candi Buddha atau lingga-yoni pada candi Hindu.
Zoeker dan steller
Megah atau indahnya Candi Gana, sangat tergantung dari pekerja lapangan yang disebut "zoeker" (Bahasa Belanda, pencari) dan "steller" (Bahasa Belanda, penyetel).Â
Tanpa peran mereka, mustahil sebuah candi dapat dipugar. Sebelum pemugaran candi dilaksanakan, "zoeker" bertugas mencari dan mengumpulkan batu-batu candi yang runtuh dan berserakan.Â
Setelah batu-batu candi terkumpul, kemudian "steller" bertanggung jawab menyetel dan "menjodohkan" batu-batu candi sehingga bentuk candi dapat diketahui.
Baca juga [Agar Candi Menarik Diperlukan Keterampilan Menjodohkan Batu]
Uniknya, keahlian mencari, mengumpulkan, memilih, dan menyetel batu-batu candi tidak diperoleh dari pendidikan formal. Selama bertahun-tahun mereka belajar langsung dari para "zoeker" dan "steller" pendahulu.Â
Menjadi "zoeker" dan "steller" tidak bisa didapat dari bangku sekolah dan kuliah, mesti diraih dengan kemauan, ketekunan, keuletan, dan kesabaran dalam belajar/kerja.
Saya ingat "zoeker" dan "steller" masa 1980-an disebut mbah. Mungkin karena keahlian 'menjodohkan' batu candi. Mbah Kasido dan Mbah Arjo Kimin, demikian sedikit nama yang pernah saya wawancarai pada 1987.Â
Kebanyakan dari mereka berpendidikan rendah dan buta huruf. Tapi jasa mereka untuk menampakkan ujud candi sangat besar.
Kehadiran "zoeker" dan "steller" inilah yang menjadi salah satu kunci keberhasilan dari kegiatan pemugaran cagar budaya. Â
Bayangkan, susunan batu-batu candi tidak mengunakan semacam semen atau perekat. Antarbatu hanya saling dikaitkan, yakni antara batu-batu yang terletak di kanan-kiri dan atas-bawah. Meskipun begitu, tingkat presisi dan tingkat kekuatan candi amat tinggi.
Saya pernah nulis [Zoeker dan Steller Ahli Menjodohkan Batu Candi]
Nah, 'jodoh' antarbatu inilah yang dicari mereka. Setelah dianggap cocok lalu diberi tanda dan dikumpulkan di tempat khusus.Â
Karena setiap batu memiliki bentuk unik, maka tidak sembarang batu bisa secara mudah dipasangkan. Memasang batu-batu candi ibarat permainan puzzle. Salah sedikit saja, tidak mungkin terselesaikan. Soalnya adalah setiap batu sudah memiliki pasangan tetap.
Candi berbatu andesit lebih mudah ditangani daripada candi berbahan batu bata seperti yang banyak terlihat di Jawa Timur. Candi andesit sering kali memiliki ukiran. Jadi tinggal mereka-reka sambungan ukiran.
Terbayangkah kalau batu-batu yang berserakan itu berjumlah ribuan. Lalu letak batu-batu itu di sana-sini. Jangan heran kalau pemugaran Candi Siwa di kompleks Prambanan membutuhkan waktu 35 tahun (1918-1953).Â
Candi Prambanan yang tadinya berantakan berhasil disusun kembali oleh "zoeker" dan "steller" dari beberapa generasi. Sampai sekarang pun kompleks Prambanan belum selesai tuntas karena ada batu yang belum ketemu.
Dulu banyak batu candi diambili warga untuk membuat pondasi rumah, sumur, makam, bahkan pengeras jalan. Meminta kembali dan mencari batu-batu itu butuh waktu lama.
Pekerjaan "zoeker" dan "steller" sering turun-temurun. Mereka pun bertempat tinggal di sekitar candi. Untunglah ada regenerasi, yang satu pergi, muncul yang lain.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H