4. Jam kerja Flexy Time bagi pegawai di kota besar
Sebagian dari kita ada yang Morning Person dan Night Person. Hasil diskusi saya dengan beberapa rekan yang bekerja di Jakarta, ada rekan yang ingin sekali sempat mengantarkan anaknya pergi sekolah di pagi hari. Ada pula yang tidak sanggup berangkat pagi-pagi sekali, pukul 5 subuh, padahal harus kejar absen, dan rumahnya di Bogor. Serta tak sedikit pegawai yang ingin segera sampai di rumah sore hari sebelum maghrib menjelang.
Ada baiknya jika pola flexy time yang diberlakukan sekarang lebih diperluas fleksibilitasnya. Pegawai boleh datang maksimal pukul 10.00, asal pulangnya pukul 20.00. Dan pegawai juga boleh pulang pukul 15.00 asalkan datang pukul 05.30, kecuali terdapat penugasan-penugasan yang mewajibkan pegawai memilih jam kerja normal. Tentu ini sekedar saran, yang mungkin bisa dibilang terlalu absurd bagi sebagian orang.
4. Kesempatan pendidikan
Terdapat ketentuan Peraturan Kementerian Keuangan yang mempersulit pegawai terkait hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan menurut saya hal ini bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan tersebut antara lain:
1. Untuk kuliah di luar kedinasan, hanya diperbolehkan jika sudah melewati 2 tahun masa kerja dan status sudah PNS, bahkan di peraturan terbaru, untuk S1 harus terlebih dulu berada di golongan IIc (ini di DJP, saya tidak tau kalau di eselon 1 lain)
2. Untuk mengikuti tes tugas belajar, pegawai yang sedang kuliah di luar kerja (kuliah malam) diwajibkan membatalkan izin kuliah malam tersebut. Padahal kan belum tentu lulus ya Pak. Seharusnya ketentuan pencabutan izin belajar tersebut diubah menjadi hanya jika pegawai tersebut telah lulus tes Tugas Belajar, dan pegawai yang lulus tes, wajib mengambil Tugas Belajar tersebut.
3. Banyak sekali diklat dan short course yang mensyaratkan kualifikasi pendidikan dan golongan tertentu, sehingga tidak semua pegawai bisa mengikutinya.
Saya menyarankan agar ketentuan-ketentuan yang memberatkan pegawai untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi itu dikurangi requirement-nya. Bayangkan Pak, Stakeholders (Wajib Pajak-Wajib Pajak-DJP) di luar sana didukung oleh karyawan dan konsultan keuangan lulusan S1 dan S2 yang mumpuni dan bersertifikasi Brevet. Sungguh satu keuntungan sebenarnya bagi instansi jika ada pegawainya yang mau kuliah dengan biaya sendiri di luar jam kerja, untuk mendukung performanya dalam melaksanakan pekerjaan yang dilakukan demi tercapainya tujuan instansi. Tapi kenapa instansi malah menekan, mengintimidasi, dan tidak mengindahkan usaha dari pegawainya? Di sinilah saya kira letak kesalahannya, di mana pegawai masih dianggap sebagai beban, bukan sebagai asset.
5. Ide untuk DJP – memasyarakatkan pajak
Khusus untuk DJP, ada beberapa ide yang saya rasa mendesak untuk dilaksanakan melalui perintah-perintah Bapak selaku Menteri Keuangan: