Mohon tunggu...
Diyarilma Anggun Ratu Innayah
Diyarilma Anggun Ratu Innayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010203

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E, Ak, M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjadi Sarjana dan Menciptakan Etika Kebahagiaan Menurut Aristoteles

10 Oktober 2024   08:14 Diperbarui: 25 Oktober 2024   07:46 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Dalam dunia yang semakin kompetitif dan di tengah dinamika kehidupan modern, pencarian akan kebahagiaan sering kali menjadi tujuan utama. Bagi banyak orang, gelar sarjana sering kali dianggap sebagai kunci untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan. Namun, di balik pencarian akademis yang intens, terdapat pertanyaan mendasar: "Apa itu kebahagiaan, dan bagaimana cara mencapainya?" Dalam tradisi filsafat Barat, pemikiran Aristoteles tentang etika kebahagiaan, atau eudaimonia, menawarkan perspektif yang mendalam dan relevan untuk dijelajahi dalam konteks menjadi sarjana. Dalam artikel ini, kita akan mengupas apa itu etika kebahagiaan menurut Aristoteles, mengapa hal tersebut penting bagi para sarjana, dan bagaimana cara kita untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari kita.

What: Apa Itu Etika Kebahagiaan Menurut Aristoteles?

Konsep Eudaimonia

Etika kebahagiaan dalam pandangan Aristoteles berfokus pada konsep eudaimonia, yang sering diterjemahkan sebagai "kebahagiaan", "kehidupan yang baik" atau "kehidupan yang sesuai dengan kebajikan. Dalam karyanya yang terkenal, "Nicomachean Ethics," Aristoteles menjelaskan bahwa eudaimonia adalah tujuan akhir dari kehidupan manusia. Menurutnya, kebahagiaan bukanlah sekadar keadaan emosional sementara, tetapi lebih kepada pencapaian tujuan hidup yang lebih tinggi melalui pengembangan karakter dan praktik kebajikan.

Kebajikan sebagai Kunci dari Kebahagiaan

Aristoteles mengklasifikasikan kebajikan menjadi dua jenis: kebajikan intelektual dan kebajikan moral. Kebajikan intelektual mencakup kemampuan berpikir, seperti kebijaksanaan, keahlian, dan pengetahuan, sementara kebajikan moral berhubungan dengan karakter dan perilaku, seperti keberanian dan keadilan. Aristoteles percaya bahwa kebahagiaan dicapai dengan hidup  secara rasional dan berusaha untuk mencapai kesimbangan antara kedua jenis kebajikan yang disebutkan di atas. Keseimbangan ini sering disebut sebagai golden mean, yang berarti menemukan titik tengah antara dua ekstrem.

Keseimbangan dan Golden Mean

Konsep keseimbangan, atau golden mean, adalah aspek penting dalam etika kebahagiaan Aristoteles. Ia berargumen bahwa setiap kebajikan berada di antara dua ekstrem, yang masing-masing merupakan keburukan. Misalnya, keberanian adalah keseimbangan antara kebodohan (kekurangan keberanian) dan keberanian yang sembrono (kelebihan keberanian). Dengan mencapai keseimbangan ini, individu dapat hidup secara rasional dan mencapai kebahagiaan yang sejati.

Kebahagiaan sebagai Proses

Penting untuk dicatat bahwa bagi Aristoteles, kebahagiaan bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang memerlukan usaha dan dedikasi sepanjang hidup. Ini berarti bahwa kebahagiaan bukan sesuatu yang dapat dicapai secara instan; melainkan, itu adalah hasil dari kebiasaan baik dan pengembangan karakter yang berkelanjutan. Dalam konteks akademis, hal ini tercermin dalam perjalanan pembelajaran dan pertumbuhan pribadi yang dialami seorang sarjana.

Why: Mengapa Etika Kebahagiaan Penting bagi Sarjana?

1. Memahami Tujuan Pendidikan

Salah satu pertanyaan mendasar yang perlu dijawab bagi para sarjana adalah: "Apa tujuan dari pendidikan?" Pendidikan seharusnya tidak hanya sebatas mengejar gelar atau memperoleh pengetahuan akademis, tetapi Aristoteles juga mengajarkan bahwa tujuan Pendidikan adalah untuk membentuk karakter dan mempersiapkan individu untuk hidup yang baik. Aristoteles menekankan bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan kebajikan, sehingga para sarjana dapat memahami dan mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi.

2. Menghadapi Tantangan

Perjalanan menuju gelar sarjana sering kali diwarnai dengan berbagai tantangan, seperti tekanan akademis, stres, dan kecemasan. Dengan memahami etika kebahagiaan Aristoteles, para sarjana dapat menghadapi tantangan ini dengan cara yang lebih konstruktif. Ketika mereka para sarjana fokus pada kebajikan dan proses pengembangan diri, mereka dapat melihat tantangan sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh, bukan sebagai hambatan.

3. Membangun Hubungan Sosial

Kebahagiaan dalam pandangan Aristoteles juga terkait erat dengan hubungan sosial. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung menemukan kebahagiaan dalam interaksi dan hubungan dengan orang lain. Sarjana yang menerapkan etika kebahagiaan Aristoteles ini cenderung lebih mampu membangun hubungan yang sehat dan bermakna, baik dengan teman sebaya maupun dengan dosen dan mentor.

4. Menciptakan Kontribusi Positif pada Masyarakat

Etika kebahagiaan tidak hanya menguntungkan individu, tetapi juga menguntungkan bagi para masyarakat. Dengan mengejar kebajikan dan terus berusaha untuk hidup dengan baik, sarjana dapat memberikan kontribusi positif bagi komunitas mereka. Ini menciptakan siklus kebahagiaan yang lebih besar, di mana individu yang bahagia berkontribusi pada kebahagiaan orang lain.

5. Pembangunan Karakter

Kebahagiaan menurut Aristoteles berakar pada pengembangan karakter. Sarjana yang memahami pentingnya karakter dan kebajikan akan lebih siap dalam menghadapi tantangan hidup. Mereka tidak hanya akan menjadi profesional yang kompeten, tetapi juga individu yang berintegritas dan memiliki rasa empati.

How: Bagaimana Menerapkan Etika Kebahagiaan dalam Kehidupan Sarjana?

1. Memahami Tujuan Pendidikan

Salah satu pertanyaan mendasar bagi para sarjana adalah: "Apa tujuan dari pendidikan?" Pendidikan seharusnya tidak hanya sebatas mengejar gelar atau memperoleh pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan mempersiapkan individu untuk hidup yang baik. Aristoteles menekankan bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan kebajikan, sehingga para sarjana dapat memahami dan mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi.

2. Membangun Kebajikan Pribadi

Langkah pertama dalam menerapkan etika kebahagiaan adalah dengan membangun kebajikan pribadi. Sarjana dapat mulai dengan mengidentifikasi kebajikan yang ingin mereka kembangkan. Apakah itu kebijaksanaan, keberanian, atau keadilan? Dengan menetapkan tujuan kebajikan yang jelas, sarjana dapat merencanakan langkah-langkah untuk mencapainya.

3. Praktik Refleksi Diri

Refleksi diri adalah alat penting dalam proses pengembangan karakter. Sarjana dapat meluangkan waktu untuk merenungkan pengalaman mereka, baik positif maupun negatif. Apa yang telah mereka pelajari? Apa yang dapat diperbaiki? Dengan rutin melakukan refleksi diri, sarjana dapat terus tumbuh dan berkembang sebagai individu.

4. Menjalin Hubungan yang Bermakna

Sarjana perlu dengan aktif membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain. Ini dapat dilakukan dengan bergabung dalam organisasi kemahasiswaan, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, atau bahkan sekadar menghabiskan waktu dengan teman-teman. Hubungan ini tidak hanya memperkaya kehidupan sosial, tetapi juga membantu dalam mencapai kebahagiaan.

5. Menghadapi Tantangan dengan Sikap Positif

Ketika menghadapi tantangan, sangat penting untuk memiliki sikap positif. Sarjana dapat berlatih mengubah cara pandang mereka terhadap masalah. Alih-alih melihat tantangan sebagai hambatan esar, mereka dapat melihatnya sebagai peluang untuk belajar dan tumbuh. Ini sejalan dengan pandangan Aristoteles bahwa kebahagiaan dapat ditemukan dalam proses, bukan hanya hasil akhir.

6. Mengintegrasikan Pembelajaran dengan Kehidupan

Pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi teori yang dipelajari di dalam kelas. Sarjana perlu mengintegrasikan pembelajaran mereka ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini dapat dilakukan dengan menerapkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dalam konteks yang nyata. Misalnya, jika seorang sarjana mempelajari etika, mereka dapat berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip etika tersebut dalam pengambilan Keputusan kehidupan sehari-hari.

7. Melakukan Kegiatan yang Memperkuat Kebajikan

Sarjana dapat memilih untuk terlibat dalam kegiatan yang memperkuat kebajikan mereka. Misalnya, mereka dapat berpartisipasi dalam program sukarela, yang tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat tetapi juga membantu dalam pengembangan karakter. Kegiatan semacam ini menciptakan pengalaman yang kaya dan memberi makna pada hidup.

8. Mengembangkan Kebiasaan Baik

Membentuk kebiasaan baik adalah kunci untuk mencapai kebajikan. Sarjana dapat menetapkan rutinitas harian yang mencakup aktivitas yang mendukung pengembangan karakter, seperti membaca, berolahraga, atau meditasi. Kebiasaan baik ini tidak hanya membantu dalam mencapai kebajikan, tetapi juga menciptakan fondasi untuk hidup yang lebih bahagia.

9. Menghargai Proses

Terakhir, sangat penting bagi sarjana untuk menghargai proses dalam belajar. Dengan memahami bahwa kebahagiaan merupakan hasil dari perjalanan dan usaha yang terus-menerus, maka mereka dapat lebih sabar dan menikmati setiap langkah dalam pendidikan yang mereka jalani. Hal ini akan membantu mengurangi stress, kecemasan, dan tekanan serta meningkatkan kepuasan dalam menjalani kehidupan akademis.

10. Cari Keseimbangan 

Aristoteles menekankan pentingnya mesotes, yaitu keseimbangan antara dua ekstrem. Kebajikan bukan hanya tentang melakukan tindakan baik, tetapi juga tentang melakukannya dengan cara yang tepat, tanpa berlebihan atau kekurangan. Dengan demikian, seorang sarjana harus menjaga keseimbangan antara studi dan kehidupan pribadi, serta antara kerja keras dan istirahat. Contohnya, jika terlalu ambisius hingga mengabaikan moral, atau terlalu pasif sehingga tidak meraih potensi maksimal mereka.

11. Menyusun Jadwal yang Seimbang

Menjadi sarjana sering kali berarti menghadapi tuntutan akademis yang tinggi. Oleh karena itu, penting untuk menyusun jadwal yang seimbang antara waktu belajar dan waktu untuk diri sendiri. Mahasiswa harus memastikan bahwa mereka memiliki waktu untuk bersantai, berolahraga, dan melakukan hobi yang mereka cintai. Keseimbangan ini akan membantu menjaga kesehatan mental dan emosional.

12. Menghindari Over-commitment

Salah satu jebakan yang sering dihadapi mahasiswa adalah terjebak dalam komitmen yang berlebihan. Mengetahui batasan diri dan belajar untuk mengatakan tidak adalah keterampilan penting. Mahasiswa harus memprioritaskan aktivitas yang sejalan dengan nilai-nilai kebajikan mereka sehingga tidak merasa terbebani oleh tuntutan yang tidak perlu.

13. Mempraktikkan Pemikiran Kritis

Mengembangkan kemampuan berpikir kritis sangat penting bagi seorang sarjana. Mahasiswa perlu belajar menganalisis informasi, mengevaluasi argumen, dan merumuskan pendapat yang berdasar. Dengan mengembangkan kemampuan ini, mahasiswa akan lebih siap menghadapi tantangan di dunia nyata dan menjadi pemikir yang mandiri.

Kesimpulan

Menjadi sarjana bukan hanya tentang mengejar gelar atau pengetahuan saja, tetapi juga tentang pengembangan karakter dan pencarian kebahagiaan. Etika kebahagiaan menurut Aristoteles memberikan kerangka kerja yang kuat bagi para sarjana untuk memahami tujuan pendidikan dan menciptakan hidup yang lebih baik. Dengan membangun kebajikan, melakukan refleksi diri, menjalin hubungan yang bermakna, dan menghadapi tantangan dengan sikap positif, sarjana dapat menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan bahagia. Melalui pemahaman dan penerapan etika kebahagiaan, para sarjana tidak hanya membentuk diri mereka sendiri, tetapi juga berkontribusi pada kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, etika kebahagiaan menjadi landasan penting dalam perjalanan akademis dan kehidupan kita.

Daftar Pustaka

  1. Aristoteles. Nicomachean Ethics. Translated by Terence Irwin. Hackett Publishing Company, 1999.
  2. Aristoteles. (2009). Nicomachean Ethics. Translated by W.D. Ross. Chicago: The University of Chicago Press.
  3. Hursthouse, R. (1999). On Virtue Ethics. Oxford: Oxford University Press.
  4. Kraut, R. (2018). Aristotle on the Human Good. Princeton: Princeton University Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun