Mohon tunggu...
diyah meidiyawati
diyah meidiyawati Mohon Tunggu... Guru - tinggalkan jejak kebaikan lewat tulisan

Diyah Meidiyawati, S.S, , seorang guru di sebuah SMK negeri di Bojonegoro, Jawa Timur .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Sembilan Tahun

18 Agustus 2024   09:55 Diperbarui: 18 Agustus 2024   10:01 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Setelah sedikit berbasa-basi, akupun memulai pada inti masalah – membicarakan perihal adu jotos Pras dan Sega.    

            “Pak Salim, Pak Yanto…kami berterima kasih sekali atas kedatangannya  meskipun di luar udara cukup panas, Bapak menyempatkan diri untuk datang ke sekolah hanya untuk menyelesaikan permasalahan kedua putranya, Pras dan Sega’’ Akupun mulai membuka  percakapan.

            “Sama-sama Bu Diyah dan Pak Giham.’’ Kedua orang tua itu hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum hambarnya.

            “Mereka berkelahi karena Pras memaksa Sega mengerjakan ulangan saat pelajaran pertama tadi…Sega tidak menuruti kemauan Pras hingga Pras marah dan terjadilah perkelahian itu…untungnya Pak Gihan sudah ada saat kejadian …jadi bisa dilerai dengan cepat.’’ Aku menerangkan kronologi kejadian itu to the point.

            Pak salim menarik nafas panjang. “Saya sudah capek ngurusi Pras, Bu…nggak ada satupun omongan saya yang dianggap…rasanya saya sudah mau nyerah, Bu.’’ Pak Salim mengeluhkan perilaku anaknya.

            Semuanya terdiam. Aku merasa ada rasa putus asa pada nada bicara pak Salim. Sedangkan pak Yanto hanya terdiam memandang pak Salim.

Hening kembali melingkupi ruangan.

            “Tolong tidak bicara seperti itu, Pak Salim.’’ Aku menenangkan pak Salim.

            “Iya, Pak Salim…jangan capek ngurusi anak.’’ Pak Yanto yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba saja ikut berbicara.

            Kualihkan pandanganku pada Pras. Ia tampak biasa saja. Tak ada raut penyesalan sedikitpun, entah kalau penyesalan itu ada di hatinya. Aku melihat pak Gihan juga sedang mengamati Pras. Bisa jadi apa yang kupikirkan sama dengan yang dipikirkan pak Gihan.

            “Menasihati anak itu sudah jadi kewajiban orang tua, pak Salim.’’ Pak Gihan ikut menimpali ucapan pak Yanto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun