**
 "Itu siapa laki-laki yang duduk di sebelahmu tadi?" Yusuf bertanya penuh penekanan.
"Ohh, itu ... temanku Bos," jawabku penuh keraguan.
"Sudah punya teman akrab, ya, di sini? Padahal baru tiga bulan merantau di negara ini. Hemm ... Sampai kecup tangan segala. Kalau ada yang cemburu nanti, bagaimana?"
"Itu spontan Bos, tak sengaja."
Aduh! Menjadi pembohong itu, bukan aku banget. Tapi nyaliku terlalu ciut untuk berkata jujur kepada Yusuf. Siapa sosok Adam yang sebenarnya dalam hidupku. Penuh pertimbangan jika ingin menceritakan kepada Bos.
Rasa ragu yang menyerangku dengan ganas, sangat memecah belah keyakinanku yang sebenarnya ingin berbicara jujur. Semua ini terjadi karena masalah uang. Tentang duniawi yang kukejar hingga merantau sejauh ini, ke luar negeri.
Yaa Tuhanku, ampunilah aku. Jika kukatakan yang sebenarnya, Â bisa-bisa aku akan dipecat dan dipulangkan ke Indonesia, secara sepihak. Jika kejujuran ini dipaksakan tiba-tiba. Padahal modalku yang tertuang dalam biaya penempatan untuk bekerja di Brunei Darussalam, sebesar BND 1.200, belum balik modal. Ahh, masak aku harus pulang dengan kegagalan.
 "Masak sih, Sarah?" Yusuf bertanya lagi.
"Be ... betul, tuan." Suaraku menjadi gagap saat menjawabnya.
"Jika aku ... suatu saat nanti, secara tak sengaja, meraih tanganmu, dan berbuat seperti itu, mau, ya?"