Mohon tunggu...
Didik Purwanto
Didik Purwanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Tech Buzz Socialist

Menyukai hal-hal berbau keuangan, bisnis, teknologi, dan traveling. Tulisan bisa dilihat di https://www.didikpurwanto.com dan https://www.ranselio.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"Menjual" Danau Toba ala Korea

26 September 2021   23:31 Diperbarui: 26 September 2021   23:39 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Korea Selatan kini menjadi acuan "memarketingkan" negara melalui budaya. The Korean Wave (Hallyu) terbukti sukses mempopulerkan berbagai aspek kebudayaan Korea Selatan, termasuk film dan televisi (khususnya K-Drama alias drakor), Kpop, manhwa (komik buatan Korea), bahasa Korea, hingga masakan Korea.

Korea Selatan hingga kini menjadi satu-satunya negara di dunia, yang memiliki tujuan khusus untuk menjadi pengekspor budaya populer terkemuka di dunia. Ini menjadi cara Korea mengembangkan 'soft power'-nya.

Cara 'soft power' ini lah yang dipopulerkan ilmuwan politik Harvard Joseph Nye. Dia mendiskripsikan kekuatan tak berwujud yang dimiliki suatu negara melalui citranya, bukan melalui kekerasan. Kekuatan kekerasan ini mengacu kekuatan militer atau kekuatan ekonomi.

Cara 'soft power' ini sebenarnya lumrah dipakai di seluruh dunia. Tak terkecuali Amerika Serikat. Negara adidaya membujuk masyarakat dunia untuk membeli celana jins Levi's, perangkat elektronik buatan Apple, rokok Marlboro, minuman ringan Coca-Cola hingga kedahsyatan film Hollywood.

Kembali ke Korea Selatan. Kekuatan Hallyu kini menjadi berkah bagi Korea Selatan. Terbukti sejak awal 1999, Hallyu menjadi salah satu fenomena budaya terbesar di Asia.

Efek Hallyu menyumbang 0,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) Korea Selatan pada tahun 2004 yang berjumlah sekitar US$ 1,87 miliar. Hingga 2019, Hallyu berhasil mengontribusikan ke PDB Korea Selatan sekitar US$ 12,3 miliar. Ini berarti meningkat enam kali lipat dalam 15 tahun.

Berdasarkan data statistik, PDB Indonesia pada tahun 2004 sebesar US$ 256,84 miliar. Sedangkan Korea Selatan di tahun yang sama mencapai US$ 793,18 miliar.

Di tahun 2020, PDB dari sektor jasa Indonesia mencapai US$ 49.438,4 miliar. PDB sektor jasa Korea Selatan di tahun yang sama mencapai US$ 267.864,3 miliar. Bedanya cukup fantastis.

Strategi ATM

Dengan kesuksesan Hallyu, Indonesia bisa meniru langkah Korea Selatan. Tentu dengan perubahan-perubahan kecil atau besar yang bisa dilakukan.

Konsep yang bisa dilakukan yakni Amati, Tiru, dan Modififikasi (ATM). Sebuah strategi untuk mencapai kesuksesan bisnis ini lumrah dipakai dalam industri kreatif. Tak terkecuali dalam industri pariwisata untuk mempopulerkan jargon Wonderful Indonesia. Apalagi industri kreatif pun sudah masuk Kementerian Pariwisata. Tentu akan lebih mudah dalam menyinergikannya.

Bicara tentang Danau Toba, semua sudah tahu keindahannya. Tak perlu diulas lagi tentang Heritage of Toba, tapi perlu cara jitu dalam "menjualnya". Tentu menjualnya ini dalam konotasi positif ya.

Seperti kita tahu, Korea Selatan selalu sukses menyebarkan virus budayanya. Pelan tapi pasti, virus Hallyu kini sudah merambah, tak hanya masyarakat dewasa Indonesia, tapi juga ke anak-anak.

Korea Selatan memiliki cara sederhana dalam menjual budayanya. Mereka mengemas budaya tradisional menjadi produk modern.

Misalnya soal danau. Korea Selatan memiliki cara unik dalam mempopulerkannya. Padahal dalam sisi keunikan, Danau Toba tentu lebih unggul.

Kalau kalian pernah nonton drama Korea berjudul "Legend of the Blue Sea" yang dibintangi Lee Min-ho dan Jun Ji-hyun, tentu tahu bahwa pemandangan tersebut berasal dari Danau Cheonjuho di Pocheon Art Valley. Danau tersebut dikelilingi tebing hingga kawasan perkampungan tradisional dan taman bunga.

Jika menonton drama tersebut, keindahan danau memang terkesan menawan. Apalagi dengan penataan lampu yang bikin suasana makin berkesan.

Drama ini terinspirasi dari legenda Joseon klasik dari kisah sejarah tidak resmi koleksi pertama Korea. Kisahnya tentang seorang nelayan yang menangkap dan melepaskan putri duyung. 

Tentunya, sineas Indonesia juga bisa membuat cerita berlatar belakang sejarah atau fiksi seperti ini. Apalagi kalau mendatangkan aktor atau aktris nasional atau bahkan internasional.

Drakor "Hwayugi" dan Scarlet Heart Ryeo juga pernah mengambil syuting di kawasan danau tersebut.

Korea Selatan juga mempopulerkan Danau Sangdong di Bucheo, Gyeonggi. Kawasan ini kerap menjadi langganan lokasi syuting drama, seperti "While You Are Sleeping" dan "Miss Hammurabi" yang diperankan Go Ara.

Kawasan Gyeonggi juga menjadi langganan banyak drama kolosal Korea, seperti "Dae Jang Geum", "Queen for Seven Days" dan yang terbaru "The Tale of Nokdu".

Saat memasuki kawasan tersebut, wisatan harus membayar 13.000-18.000 won atau sekitar Rp 145.000-Rp 195.000. Kita bisa mencoba memakai pakai tradisional Korea dan menikmati tur dari pemandu wisata lokal.

Nah, dari sini budaya lainnya bisa masuk, seperti musik, makanan hingga suvenir.

Tentu kawasan wisata Danau Toba yang sudah dijadikan destinasi super prioritas (DSP Toba) memiliki keunikan-keunikan khusus yang bisa dijual ke wisatawan.

Jangan hanya menjejali kesan historis atau keunggulan Danau Toba tapi melupakan apa yang bisa dilihat dan dilakukan wisatawan di sana.

Wisatawan harus memiliki keterikatan emosional terhadap destinasi tersebut. Jadi mereka akan membayangkan seperti apa kondisi sebelum dan sesudah datang ke lokasi.

Misalnya saat mengunjungi Danau Cheonjuho, kita pasti berimajinasi sedang diselamatkan oleh Lee Min-ho seperti dalam drama Legend of the Blue Sea. Apalagi bisa berenang di danau yang airnya kelihatan hijau kebiruan itu. Sangat menyenangkan.

Bagaimana dengan Danau Toba?

Ajak Sineas Berkarya

Sebenarnya sudah banyak sineas yang syuting di Danau Toba. Seperti film "Mauli Bulung", "Permata di Tengah Danau", hingga film "Toba Dreams". Tapi aku merasa gaung film tersebut kurang berasa.

Atau yang terbaru, film Rusia bergenre pop-comedy, "Gulyai, Vasya! Svidanie na Bali" (Chill Out, Vasya! A Date in Bali). Film tersebut mengambil lokasi syuting di Danau Toba, kawasan Candi Borobudur, Labuan Bajo, Mandalika, dan Likupa. Sayangnya, nama Danau Toba tidak masuk dalam judul utama film. Malah Bali.

Ya, wisatawan asing memang hanya mengenal Bali. Belum mengenal Indonesia. Hehehe..Sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk memperkenalkan kekayaan destinasi wisata alam Indonesia.

Menurut penuturan Sergey Zakharov, produser eksekutif film Rusia tersebut, mereka mengambil lokasi syuting di Bali karena warga Rusia menganggap Bali memiliki nuansa spiritual magis. Apalagi keramahan dan kehangatan warga Bali yang sangat melekat di hati masyarakat Rusia.

Nah, tugas besar lagi bagi Kemenparekraf untuk menggali nilai emosional destinasi wisata untuk ditunjukkan kepada dunia. Undang sineas untuk riset ke Sumatera Utara dan menggali potensi yang bisa diangkat ke masyarakat dunia.

Jangan persulit izin mereka untuk syuting di Danau Toba. Kalau perlu, dukung mereka, entah dengan moral dan finansial agar membuat karya sebagus dan sebanyak mungkin.

Ajak diskusi para duta besar di seluruh negara potensial untuk menggali nilai emosional yang bisa "dijual" ke wisatawan. Kalau perlu undang duta besar negara sahabat atau orang-orang penting lainnya untuk MICE di Indonesia Aja. MICE di sini berarti meeting, incentive, convention, and exhibition.

Indonesia memiliki segudang cerita rakyat atau cerita fiksi yang bisa diangkat ke layar kaca. Hanya butuh kemauan dan promosi saja.

Bidadari Cantik Yang Jadi Toilet Raksasa

Danau Toba sudah diproklamirkan sebagai destinasi super prioritas. Namun destinasi itu masih menyisakan masalah yang belum tuntas.

Media asing malah memberitakan kasus ini dengan jelas. Wisatawan asing yang biasanya akan menyambangi destinasi wisata, tentu akan lepas.

Jika tak sesuai nilai emosional tadi, bisa jadi wisatawan batal mengunjungi. Sia-sialah gelontoran dana promosi.

Misalnya Deutsche Welle (DW), media asal Jerman dan Eropa yang mengalihbahasakan beritanya dalam 30 bahasa di dunia menulis tentang "Danau Toba: Bidadari Cantik Yang Jadi Toilet Raksasa".

Berita tersebut menulis tentang pencemaran limbah dan polusi dari sentra produksi yang berada di sekitar danau.

Data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Utara, pencemaran air di Danau Toba sudah mencapai ambang batas yang diizinkan. Jangankan untuk pariwisata, bak air di sekitar sentra produksi bahkan tidak lagi layak dikonsumsi penduduk lokal.

Direktur WALHI Sumatera Utara Dana Tarigan bilang, lemahnya penegakan hukum dan perlindungan lingkungan perlahan membunuh ekosistem danau.

Kajian Bank Dunia yang dibuat pada 2017 menyebut, upaya pemulihan Danau Toba bisa membutuhkan waktu hingga 80 tahun dengan dana yang tidak sedikit.

Jika sudah selama itu waktu pemulihannya, bisa kita bayangkan separah apa kotornya Danau Toba.

Jadi sebelum kita mimpi Lee Min-ho berenang menyelamatkan putri duyung di Danau Toba, selesaikan dulu persoalan internalnya. Belum lagi kasus hutan adat hingga nasib petambak lokal di sana.

"Hagagalon dibahen dua hal, ima jolma namarpikkir ale dang mangulahon dohot jolma namngulahon alai dang jolo marpikkir."

(Kegagalan disebabkan dua hal, yakni orang yang berpikir tetapi tidak berbuat dan orang yang berbuat tetapi tidak berfikir)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun