Jangan Mendekati Dua Pohon Kembar Itu
Rasa penasaran itu manusiawi, tapi jangan sampai rasa penasaran itu membuat kita celaka. Oke, lanjut.
Seperti biasa, aku selalu pulang dari kerja pada waktu sore, sekitar jam setengah lima, lewat Gang Melati. Gang itu ramai sekali dilalui oleh orang-orang, tapi sepi di waktu malam hari.
Aku bekerja sebagai pegawai swasta.
Saat melewati Gang Melati, aku selalu penasaran dan selalu melihat dua pohon kembar yang ada di sana. Pohon itu di kelilingi pagar besi.
"Pohon itu seperti memanggilku."
Aku yang berusaha mendekati dua pohon itu, tiba-tiba ada Ibu Siti yang kebetulan lewat Gang Melati dan menggenggam tanganku.
"Dek, jangan dekat-dekat pohon itu dan jangan banyak melamun. Nanti kamu diculik, loh," Ibu itu memperingatkanku dengan nada cemas.
"Oh, iya, Bu. Tadi soalnya saya penasaran sekali dengan dua pohon kembar itu."
Aku baru saja pindah, jadi tidak tahu ada hal-hal seperti itu di sekitar perumahan.
"Buang saja rasa penasaran itu, Dek. Takut juga kalau terjadi apa-apa," ujar Ibu Siti sambil menggelengkan kepala.
"Iya, Bu," jawabku, meskipun rasa penasaran itu masih ada.
Ibu itu pun mengajakku pulang bersama, karena langit sudah gelap dan malam segera tiba. Ibu itu sudah tahu kalau di malam hari, dua pohon itu tidak beres dan penuh dengan hal-hal gaib.
"Ayo, Dek. Bareng Ibu Siti saja, biar ada teman. Soalnya hari sudah mau gelap," ajak Ibu Siti sambil menarik tanganku pelan.
"Iya, Bu." Aku pun mengiyakan dengan sedikit ragu.
Ibu Siti yang baru pulang dari bekerja sebagai guru sekolah.
Di sepanjang jalan, aku semakin penasaran dengan dua pohon kembar itu, dan aku ingin menanyakan soal rasa penasaran itu kepada Ibu Siti.
"Oh ya, Bu, kenapa orang-orang bilang pohon itu angker?" tanyaku, mengingat perasaan aneh yang terus menghantuiku.
Ibu Siti menoleh padaku dan tersenyum samar. "Oh, itu... banyak yang bilang begitu, tapi sebenarnya cerita di baliknya cukup menyeramkan, Dek."
"Oh, jadi ada cerita di balik pohon itu?" Aku mendengarkan dengan seksama, sedikit terkejut.
"Ya, ada," jawab Ibu Siti pelan. "Tapi lebih baik kalau kamu tidak terlalu penasaran."
Tiba-tiba gerimis, dan hujan pun datang. Terpaksa, aku dan Ibu Siti mencari tempat berteduh. Syukurnya, ada toko yang sudah tutup dan ada kursi pelanggan.
"Bu, ada toko yang sudah tutup, ayo ke sana, Bu," kataku, merasa sedikit lega karena bisa berhenti sejenak.
"Iya, Dek, ayo. Nanti kita malah jadi basah kuyup," jawab Ibu Siti sambil tersenyum.
Ketika sudah sampai di toko,
"Yey, ada kursi, jadi nggak berdiri. Kalau berdiri, lelah nanti jadinya," kataku dengan senyum lega.
Ibu Siti yang melihatku pun tersenyum dan tertawa kecil. "Ya, namanya masih muda," katanya, sedikit geli melihat kelakuanku.
Aku dan Ibu Siti pun tertawa bersama karena melihat kelakuanku yang spontan.
Setelah itu, aku pun menanyakan rasa penasaran ku.
"Bu, aku boleh bertanya?" tanyaku, sambil menatapnya dengan penuh harap.
"Boleh, tanya saja, Dek," jawab Ibu Siti sambil duduk santai, menunggu pertanyaanku.
"Soal dua pohon kembar itu, Bu, kenapa orang-orang selalu takut ketika malam hari? Apa ada hantunya?" tanyaku dengan suara pelan, mencoba tidak terlalu terlihat cemas.
Ibu Siti yang selalu waspada dan merahasiakannya agar tidak terjadi hal-hal buruk, namun Ibu Siti menceritakan asal-usul dan informasi tentang dua pohon itu kepadaku, karena aku juga baru pindah tiga minggu lalu dan tidak tahu kalau ada hal-hal seperti itu di sekitar perumahan.
Ibu Siti juga berpesan agar aku selalu hati-hati melewati gang itu.
"Oh, dua pohon kembar tadi, ya. Ibu akan cerita sedikit, ya," Ibu Siti mulai bercerita dengan serius.
Ibu Siti menjelaskan dengan seksama, sambil menatap jauh ke depan.
"Dulu ada sepasang kekasih yang belum sah menjadi suami istri. Mereka kepergok warga sedang melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan setelah menikah. Warga pun mengejar mereka untuk dibawa ke pengadilan karena perbuatannya itu."
Ibu Siti menjelaskan lagi dengan suara rendah, seolah takut ada yang mendengar.
"Mungkin karena saking takut dan gugup, dua pasang kekasih itu pun lari dan tanpa sengaja lari ke arah pohon besar."
Aku yang ingin tahu selanjutnya bertanya, "Terus, apa yang terjadi, Bu? Mereka ketangkap, Bu?"
"Sepasang kekasih itu tidak tertangkap, tapi mereka terpeleset dan terjatuh di depan pohon besar yang ada di hadapan mereka. Tiba-tiba tubuh mereka kaku."
"Apa yang terjadi dengan mereka, Bu?"
"Ruh pohon itu pun masuk ke dalam tubuh mereka dan dua pasang kekasih itu berubah menjadi dua pohon kembar."
"Bagaimana dengan warga yang mengejar mereka, apakah mereka sudah menemukan dua pasang kekasih itu, Bu?" tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu.
"Ya, Dek. Mereka mengejar dan menemukannya. Mereka pun terkejut melihat proses kejadian yang dialami dua pasang kekasih itu."
"Setelah dua pohon itu jadi, dua pohon itu seperti ingin menyedot seseorang yang mendekat. Karena hal itu pun warga memasang pagar besi di sekitar pohon itu."
"Karena kejadiannya itu malam jam 8, itulah mengapa orang-orang banyak yang takut lewat Gang Melati ini di malam hari. Karena dua pohon kembar itu sering meminta dan menggoda orang yang melewati pohon itu untuk mendekat dan menyedot jiwanya."
Aku yang merasa kaget dan takut berkata dengan suara gemetar,
"Kok bisa begitu, ya, Bu? Aku jadi takut lewat situ, Bu."
"Ya, bisa saja. Mungkin karena mereka juga berdosa, telah melakukan hal-hal yang tidak baik dan melanggar hukum agama. Alam pun tidak bersahabat," jawab Ibu Siti dengan nada penuh kehati-hatian.
Ibu Siti juga berpesan,
"Jangan takut, Dek. Yang penting kamu tidak mendekati dua pohon itu dan selalu berdoa kepada yang Maha Kuasa untuk dilindungi dari hal-hal seperti itu."
"Mungkin itu saja yang bisa Ibu ceritakan."
"Iya, nggak apa-apa, Bu."
Aku pun melihat ke arah dua pohon itu yang jaraknya cukup jauh dari tempat berteduh.
Aku berbicara dalam hati, "Untung aku tidak ke sana tadi. Bisa-bisa nanti jiwa ku disedot dan diculik. Hiii, ngeri."
Untung aku tidak gegabah.
Ketika hujan reda dan langit sudah gelap menuju pukul 6 malam, aku yang takut karena sudah malam dan cerita Ibu Siti tadi berkata dengan suara pelan,
"Bu, ayo kita pulang. Hujannya sudah reda."
"Iya, ayo."
Aku dan Ibu Siti berjalan pulang, tapi aku tetap merasa cemas. Aku terus melirik ke arah dua pohon itu yang tampak lebih mengerikan saat gelap.
Ibu Siti ke kanan perumahan Delta, dan aku ke kiri menuju perumahan Case.
"Bu, hati-hati ya di jalan."
"Iya, Dek, kamu juga hati-hati dan langsung pulang saja, ya."
"Iya, Ibu. Terima kasih juga sudah bareng jalan."
"Iya, sama-sama, Dek."
Aku berjalan ke rumah dengan perasaan tenang, meskipun di dalam hati masih ada rasa takut yang menggelayuti.
Catatan Penulis:
Cerita pun tamat.
Terima kasih sudah membaca cerita ku sampai habis.
Menarik nggak?
Semoga menarik, he he he.
Lanjut.
Cerita di atas berdasarkan hasil dari imajinasi dan khayalan ku saja. He he he. Jadi ya gitu idenya ada aja.
Penting: Nama tokoh, pekerjaan, dan kejadian hanya fiktif.
Aku menggunakan teknologi AI untuk memperbaiki ejaan bahasa Indonesia di cerita ku ini (PUEBI). Mungkin akan ada sedikit perubahan kata setelah diperbaiki, tapi tidak merusak jalan cerita ku.
Aman-aman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI