Kami temukan sebuah rumah susun di luar Aachen. Letaknya di Oberforstbach. Besarnya lumayan, ada kamar keluarga, kamar tidur, kamar anak-anak, dapur dan kamar mandi.
Hidup mulai agak berat. Berat bukan karena beban pekerjaan di rumah tetapi karena rasa kesendirian.
Oberforstbach sebuah desa; kalau mau ke Aachen untuk keperluan tertentu seperti memeriksakan kandungan ke dokter, orang perlu naik bis. Bis hanya ada setiap dua jam pagi dan sore.
Hidup terasa sepi sekali; jauh dari keluarga jauh dari teman-teman; jauh dari segala-galanya. Tidak ada yang dapat diajak ngobrol. Berbahasa Jerman pun waktu itu kurang disukai; bahasa Jerman ex-SMA ternyata tidak begitu menolong. Yang ada hanya suami tetapi suami pun pulang larut malam. Ia harus bekerja, ia harus menyelesaikan promosinya.
Penghasilan kami pas-pasan; mendapat setengah dari Diplom Ingineur, oleh karena bekerja setengah hari sebagai Asisten pada Institut Konstruksi Ringan Universitas, enam ratus DM lagi dari DAAD, Dinas Beasiswa Jerman. Untuk menambah penghasilan, suami dengan mencuri-mencuri waktu bekerja sebagai ahli konstruksi pada pabrik kereta api mendisain gerbong-gerbong berkonstruksi ringan. Waktu sangat berharga dan harus diatur ketat. Pagi-pagi ke pabrik dulu, kemudian sampai malam di Universitas. Pukul 10.00 atau 11.00 malam baru sampai di rumah dan menulis disertasi. Kemana-mana naik bis, malah karena kekurangan uang untuk membeli kartu langganan bulanan, dua tiga kali seminggu ia jalan kaki mengambil jalan pintas sejauh lima belas kilometer. Sepatunya berlobang-lobang; baru menjelang musim dingin lobangnya ditambal.
Soal pengeluaran tetap meningkat. Di samping keperluan sehari-hari perlu ada tabungan untuk hari depan. Harus dibayar asuransi kesehatan, dan ternyata asuransi kesehatan bagi wanita hamil cukup tinggi karena memperhitungkan segala kemungkinan; rumah sakit, terjadinya komplikasi, dsb-nya.
Untuk menghemat, sejauh mungkin semuanya dikerjakan sendiri. Mulailah saya belajar sendiri menjahit. Lama kelamaan jahitan saya tidak terlalu jelek; memperbaiki yang rusak, membuat pakaian bayi, merajut, dan menjahit pakaian dalam persiapan musim dingin. Maka tidak kebetulan bahwa yang pertama kami beli sebelum Ilham lahir adalah mesin jahit. Bukan mesin cuci, bukan oven yang serba otomatis, bukan perlengkapan lainnya. Tetapi mesin jahit. Itulah prioritasnya waktu itu. Mesin jahit diperlukan untuk persiapan-persiapan. Dengan bertambahnya anggota keluarga, tentu biaya hidup meningkat ; untuk makanan bayi, untuk dokternya, obatnya, untuk ini dan itu”.
Jalan yang menghubungkan Obesforstbach dengan Aachen adalah jalan dimana bus yang tidak sering datang. Pagi sekali Habibie meninggalkan Ainun seorang diri dengan dana yang sangat terbatas, dan kembali larut malam dengan sering berjalan kaki untuk pengematan.
Jalan pintas itu melintasi kuburan. Jika hujan dan dingin, Habibie berjalan dengan payung dan mantel dengan sepatu yang diberi alas kertas yang diisolasi untuk mengurangi rasa dingin.
Jika Habibie pulang, Ainun sering menunggu kedatangannya dengan memandang keluar jendela dari kontrakannya yang sederhana. Setiba di depan rumah, Ainun membuka pintu dan memandang suaminya dengan senyuman terindah yang selalu menentramkan.
Habibie mengenang almarhumah istrinya dengan sebuah kalimat yang memaksa kami untuk turut larut dalam haru, dan barangkali menjadi duka bak seekor burung yang patah sebelah sayapnya.