Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ainun, Wanita Hebat di Balik Pria Hebat (1)

23 November 2012   01:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:48 1831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami temukan sebuah rumah susun di luar Aachen. Letaknya di Oberforstbach. Besarnya lumayan, ada kamar keluarga, kamar tidur, kamar anak-anak, dapur dan kamar mandi.

Hidup mulai agak berat. Berat bukan karena beban pekerjaan di rumah tetapi karena rasa kesendirian.

Oberforstbach sebuah desa; kalau mau ke Aachen untuk keperluan tertentu seperti memeriksakan kandungan ke dokter, orang perlu naik bis. Bis hanya ada setiap dua jam pagi dan sore.

Hidup terasa sepi sekali; jauh dari keluarga jauh dari teman-teman; jauh dari segala-galanya. Tidak ada yang dapat diajak ngobrol. Berbahasa Jerman pun waktu itu kurang disukai; bahasa Jerman ex-SMA ternyata tidak begitu menolong. Yang ada hanya suami tetapi suami pun pulang larut malam. Ia harus bekerja, ia harus menyelesaikan promosinya.

Penghasilan kami pas-pasan; mendapat setengah dari Diplom Ingineur, oleh karena bekerja setengah hari sebagai Asisten pada Institut Konstruksi Ringan Universitas, enam ratus DM lagi dari DAAD, Dinas Beasiswa Jerman. Untuk menambah penghasilan, suami dengan mencuri-mencuri waktu bekerja sebagai ahli konstruksi pada pabrik kereta api mendisain gerbong-gerbong berkonstruksi ringan. Waktu sangat berharga dan harus diatur ketat. Pagi-pagi ke pabrik dulu, kemudian sampai malam di Universitas. Pukul 10.00 atau 11.00 malam baru sampai di rumah dan menulis disertasi. Kemana-mana naik bis, malah karena kekurangan uang untuk membeli kartu langganan bulanan, dua tiga kali seminggu ia jalan kaki mengambil jalan pintas sejauh lima belas kilometer. Sepatunya berlobang-lobang; baru menjelang musim dingin lobangnya ditambal.

Soal pengeluaran tetap meningkat. Di samping keperluan sehari-hari perlu ada tabungan untuk hari depan. Harus dibayar asuransi kesehatan, dan ternyata asuransi kesehatan bagi wanita hamil cukup tinggi karena memperhitungkan segala kemungkinan; rumah sakit, terjadinya komplikasi, dsb-nya.

Untuk menghemat, sejauh mungkin semuanya dikerjakan sendiri. Mulailah saya belajar sendiri menjahit. Lama kelamaan jahitan saya tidak terlalu jelek; memperbaiki yang rusak, membuat pakaian bayi, merajut, dan menjahit pakaian dalam persiapan musim dingin. Maka tidak kebetulan bahwa yang pertama kami beli sebelum Ilham lahir adalah mesin jahit. Bukan mesin cuci, bukan oven yang serba otomatis, bukan perlengkapan lainnya. Tetapi mesin jahit. Itulah prioritasnya waktu itu. Mesin jahit diperlukan untuk persiapan-persiapan. Dengan bertambahnya anggota keluarga, tentu biaya hidup meningkat ; untuk makanan bayi, untuk dokternya, obatnya, untuk ini dan itu”.

Jalan yang menghubungkan Obesforstbach dengan Aachen adalah jalan dimana bus yang tidak sering datang. Pagi sekali Habibie meninggalkan Ainun seorang diri dengan dana yang sangat terbatas, dan kembali larut malam dengan sering berjalan kaki untuk pengematan.

Jalan pintas itu melintasi kuburan. Jika hujan dan dingin, Habibie berjalan dengan payung dan mantel dengan sepatu yang diberi alas kertas yang diisolasi untuk mengurangi rasa dingin.

Jika Habibie pulang, Ainun sering menunggu kedatangannya dengan memandang keluar jendela dari kontrakannya yang sederhana. Setiba di depan rumah, Ainun membuka pintu dan memandang suaminya dengan senyuman terindah yang selalu menentramkan.

Habibie mengenang almarhumah istrinya dengan sebuah kalimat yang memaksa kami untuk turut larut dalam haru, dan barangkali menjadi duka bak  seekor burung yang patah sebelah sayapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun