Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ainun, Wanita Hebat di Balik Pria Hebat (1)

23 November 2012   01:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:48 1831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas SMA, Habibie melanjutkan studi ke Jerman. Ibu Habibie, yang bernama R.A Tuty Marini Puspowardoyo adalah kelahiran Jogja, dan Jawa yang sangat berpengaruh dalam pembentukan masa depan seorang Habibie. Di usia 14 tahun, ayah Habibie, Alwi Abdul Djalil meninggal dunia.

Habibie remaja mempunyai perilaku sering menyendiri dan konsentrasi pada lingkungan dunianya. Sering lupa makan, sehingga sering sakit. Ibunya sering memaksa Habibie untuk bermain di luar dengan anak-anak lain.

Ibu yang sangat paham dengan bakat dan potensi anaknya, lalu mendorong Habibie untuk merantau. Ia berlayar dengan kapal laut seorang diri  dari Makasar ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan dan menempuh SMP di Bandung.

Dan 5 tahun kemudian, di usia 19 tahun, Habibie juga seorang diri naik pesawat terbang ke Jerman untuk melanjutkan sekolah ke pendidikan tingginya.

Peran ibu sangat besar dalam melakukan perubahan tersebut. Sang ibunda bukan saja memberi dorongan secara moril, namun juga menyanggupi pembiayaan pendidikan hingga Habibie dapat mandiri dengan kuliah sambil bekerja di negara tersebut.

Sementara, Ainun sendiri melanjutkan ke Fakultas Kedokteran UI, di Jakarta. Inilah catatan Ainun dalam buku A. Makmur Makka ”Setengah Abad Prof. Dr.Ing.B.J.Habibie ; Kesan & Kenangan’ 1986 (SABJH) sbb :

Ada satu ucapannya yang tak pernah saya lupakan. ”He, kenapa sih kamu kok gendut dan hitam? Kami gadis-gadis semua kaget. Eh kok begitu. Mau apa dia?” Saya dan teman-teman lagi duduk-duduk ngobrol waktu itu. Tiba-tiba saja ia datang menghampiri dan mengatakannya. Mungkin ada maksudnya. Entahlah. Memang, kita berdua sudah saling tahu-mengetahui sejak dari SMP 5 dan SMP 2 kita yang bersebelahan di Bandung itu. Katakanlah saling kenal mata. Keluarga kami berkenalan baik dan saling datang ke rumah, keluarganya di Jalan Imam Bonjol, orang tua saya di Ciumbuluit”.

Namun dapat dikatakan bahwa kami saling memperhatikan di SMA Kristen di Jalan Dago. Bagaimana tidak. Karena kita dua-duanya sama kecil dan sama-sama paling muda di kelas masing-masing, kita selalu dijodoh-jodohkan oleh para guru : Itu lho yang cocok buat kamu”. Dia setahun lebih tua dan selalu satu kelas lebih tinggi. Tetapi kami tidak pernah berpacaran. Malah Fanny, adiknya lebih akrab dengan saya. Fanny kuanggap ”konco, dia sendiri teman biasa. Ia banyak disenangi gadis-gadis yang sedikit lebih tua. Saya ingat ia suka bersepatu roda. Saya sendiri suka berolah-raga; softball, volley, berenang. Juga suka makan. Jadi kulit memang agak hitam; badan memang berisi. Bukan dia satu-satunya lelaki yang menjadi perhatian saya; buat anak gadis umur 16 tahun para mahasiswa yang hebat-hebat dan gagah-gagah memakai sepeda motor Harley Davidson tentu lebih menarik. Dia masih bersepeda waktu itu. Apakah ia minta lebih kuperhatikan lebih banyak? Tak tahulah”.

Sehabis SMA kami jalan sendiri-sendiri; dia ke Jerman belajar menjadi insinyur, saya ke Jakarta masuk Fakultas Kedokteran UI. Indekos mula-mula pada keluarga Harjono MT di Jalan Borobodur, kemudian keluarga Abidin di Jalan Lembang. Hidup cepat berlalu; tahun 1961 saya lulus, lalu bekerja di bagian Kedokteran Anak FKUI. Saya pindah rumah ke Jalan Kimia agar dekat dengan tempat kerja.

Tahun 1960 ia selesai. Kata tante Habibie (saat itu belum saya panggil mami) ia baru sakit dua tahun lamanya. Sudah tujuh tahun dia tidak pulang. Kata tante ada baiknya ia pulang berlibur dulu sebelum meneruskan promosinya, siapa tahu ia bertemu jodohnya wanita Indonesia di sini”.

Saya sakit waktu itu; mungkin karena bekerja terlalu keras dan setelah masuk rumah sakit beberapa lama, diberi cuti untuk istirahat. Maka pulanglah saya ke Bandung. Ke Rangga Malela, ke tempat orang tua saya sementara itu sudah pindah. Jahit-menjahit,  ngobrol, istirahat”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun