Mohon tunggu...
Chevyco Hendratantular
Chevyco Hendratantular Mohon Tunggu... Freelancer - Sarjana Arkeologi, Pekerja Industri Kreatif

Sarjana Arkeologi, tertarik dengan komunikasi sains dan budaya dan apapun yang berhubungan dengan Ke-Indonesia-an

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Bumi Manusia", di Antara Kebangkitan dan Penghinaan Sastra?

21 Agustus 2019   13:18 Diperbarui: 21 Agustus 2019   13:32 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Felix Nesi, seperti dalam wawancara yang saya sebutkan sebelumnya, mungkin bisa mengatakan pengadaptasian novel Bumi Manusia menjadi film adalah sebuah kejahatan, sedangkan ujaran pesimistis dari Goenawan Mohamad yang mengatakan film hasil adaptasi novel biasanya jelek, mungkin juga terbukti, namun hal tersebut tidak bisa membuat kita terburu-buru menarik kesimpulan bahwa kehadiran film tersebut memang buruk adanya.  

Kehadiran film Bumi Manusia menurut saya memberikan harapan baik dalam dunia perfilman maupun dalam perkembangan sastra di jaman sekarang. Dalam film itu saya pun dibuat kagum dengan pembawaan karakter Nyai Ontosoroh oleh Sha Ine Febriyanti, karakter ibu Minke oleh Ayu Laksmi, dan bahkan Minke sendiri yang dibawakan oleh Iqbaal Ramadhan, meskipun mungkin sebagai Minke yang berbeda dari penggambaran dalam novel. 

Saya juga kagum dengan dialog-dialog dalam film yang mempertimbangkan keragaman bahasa dari spektrum yang berbeda seperti Bahasa Belanda, Prancis, Inggris, Jawa, dan Melayu yang secara sengaja dihadirkan dalam film untuk menunjang konteks sejarahnya. 

Belum lagi mengenai motivasi yang tinggi sang sutradara, Hanung Bramantyo untuk mengupayakan segala elemen dalam film mewakili konteks jamannya dengan membuat rel kereta, rumah, dan latar perkotaan sendiri dengan anggaran produksi yang saya rasa cukup minim dibandingkan dengan Holywood.

Kehadiran film ini nyatanya memberikan efek samping yang akan menjadi solusi dari kekhawatiran kalangan pemerhati sastra. Kekhawatiran akan matinya kritik sastra dan juga keberlanjutan dari dunia sastra itu sendiri di kalangan anak muda. Seperti yang disampaikan Goenawan Mohamad yang juga mengutarakan pernyataan bernada serupa dimana perkembangan sastra di Indonesia tidak lagi ada. 

Sastra tidak lagi didiskusikan oleh para pelajar secara luas, hanya sebagian kecil kelompok saja yang masih melakukannya selain itu hampir tidak ada orang di jaman sekarang yang menggubah karya sastra yang baru. Mungkin dunia sastra sudah mendekati hari kiamatnya, namun nyatanya tidak.

Contoh yang nyata adalah apa yang terjadi pada diri saya, segera ketika mendengar film Bumi Manusia di rilis saya pun mulai menaruh minat lagi dalam membaca berbagai karya sastra.  Dan sepertinya saya pun tidak sendiri karena buku-buku pram, khususnya yang berjudul Bumi Manusia yaitu buku yang sama yang selalu bertengger di rak-rak toko buku jarang tersentuh ketika saya kuliah, kini telah habis dibeli oleh orang, bahkan hingga pihak penerbit memutuskan untuk mencetak ulang. 

Pada akhirnya kehadiran film Bumi Manusia yang mengangkat sebuah karya sastra dari Pramoedya Ananta Toer mendorong banyak orang untuk kembali menikmati sastra, dan bukan hanya itu saja mereka tertarik mencari sumber utamanya untuk mendapatkan cerita yang lebih utuh, bukankah ini awal yang baik untuk memulai kembali tradisi kritik sastra?

Perkembangan jaman yang semakin modern membawa kita pada tantangan yang berbeda. Jika pada jaman dahulu pemikiran-pemikiran revolusioner termanifestasi melalui tulisan, di jaman sekarang kita memiliki medium yang lebih beragam untuk merekam ide dan menyampaikan pandangan, film adalah salah satunya. 

Film Bumi Manusia mungkin sangat jauh dari predikat mahakarya, namun dengan film ini Indonesia telah memulai langkahnya dalam evolusi dunia perfilman yang lebih maju. Jadi mengapa kita tidak memanfaatkannya se-kreatif mungkin? alih-alih mengutuk perubahan yang merupakan keniscayaan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun