Mohon tunggu...
Chevyco Hendratantular
Chevyco Hendratantular Mohon Tunggu... Freelancer - Sarjana Arkeologi, Pekerja Industri Kreatif

Sarjana Arkeologi, tertarik dengan komunikasi sains dan budaya dan apapun yang berhubungan dengan Ke-Indonesia-an

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Bumi Manusia", di Antara Kebangkitan dan Penghinaan Sastra?

21 Agustus 2019   13:18 Diperbarui: 21 Agustus 2019   13:32 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keakuratan Konteks Sejarah dalam Latar Film Bumi Manusia

Perhatian saya yang pertama tertuju pada rumah kediaman Herman Mellema. Sebuah rumah yang digambarkan merupakan kediaman yang berada di pinggiran kota yang di kelilingi oleh perkebunan pribadi miliknya. Dalam penggambaran di film tersebut, rumah Herman Mellema merupakan rumah kayu berarsitektur seperti layaknya rumah kebaya, rumah tradisional khas betawi, dan memiliki tingkat. 

Saya tentu tidak tahu secara pasti apakah memang lazim sebuah warga Belanda di tanah East indies memiliki rumah yang berbentuk seperti itu karena tentunya kita harus melakukan kajian terlebih dahulu untuk membuktikannya, namun saya lebih sering melihat sebuah rumah bergaya arsitektur indies maupun campuran antara Indies dengan rumah tradisional joglo tanpa tingkat yang dibangun dengan material utama batu kali yang diplester pada kajian-kajian arkeologis rumah perkebunan di jaman kolonial.

Bangsa eropa merupakan bangsa yang sangat percaya diri dengan kemampuan mereka dalam bidang teknik pembangunan, masonry dan arsitektur. Pada era kolonial mereka akhirnya membawa serta pengetahuan itu ke negara-negara koloninya untuk mereka terapkan pada setiap proyek pembangunan di negara koloni, tak terkecuali pemukiman atau rumah tinggal. 

Pada awalnya, orang-orang Belanda menerapkan rancangan arsitektur yang serupa dengan bentuk rumah tradisional di negara asalnya. Mereka membangun rumah dengan penampang memanjang, tertutup, atap tinggi dan penampang jendela dan pintu yang terbatas, hal ini mungkin terkait dengan keberadaan musim-musim yang ada di negara asalnya, yang membuat mereka harus bertahan dalam keadaan yang ekstrim. 

Arsitektur rumah tradisional belanda dengan atap yang tinggi memungkinkan orang belanda untuk bertahan hidup di musim salju karena atap yang tinggi akan mengurangi tekanan diatas bangunan dari salju yang menumpuk di atap, namun hal tersebut ternyata tidak dibutuhkan di wilayah tropis seperti Hindia timur. 

Hindia timur yang berada dalam wilayah tropis, memungkinkan para perancang bangunan belanda menggabungkan dua jenis gaya arsitektur dalam satu bangunan, yaitu arsitektur eropa (art-deco, rationalism, collonial) dengan arsitektur vernakuler tradisional di Indonesia, dari sinilah lahir arsitektur bergaya Indies.

Arsitektur Indies pada bangunan pemukiman umumnya memiliki penampang yang melebar dengan atap yang landai dan memanjang yang bersambung membentuk penutup serambi atau beranda di samping bangunan, bangunan indies memiliki atap yang menyerupai rumah joglo namun lebih rendah. Jadi sungguh sangat membingungkan bagi saya ketika rumah kediaman Herman Mellema tidak seperti gambaran rumah di masanya pada saat itu.

Gambaran Rumah Perkebunan Belanda | pinterest.com/fotoindonesiajamandulu
Gambaran Rumah Perkebunan Belanda | pinterest.com/fotoindonesiajamandulu
Selain kediaman keluarga Mellema itu sendiri kita juga bisa memperhatikan apa yang dikerjakan Nyai Ontosoroh untuk menghidupi keluarganya, yaitu usaha perkebunan milik Herman Mellema yang ia jalankan sendiri. Sepintas tidak ada yang salah dengan kegiatan perkebunan yang terjadi dalam film tersebut, namun jika kita mempertanyakan tentang seberapa akurat kegiatan tersebut dengan konteks jamannya pada saat itu, saya pun kembali ragu.

Dalam beberapa scene di film tersebut Annelies Mellema yang diperankan Mawar Eva de Jongh berusaha untuk membantu para pekerja perkebunan untuk mengumpulkan hasil panen, ia memetik sejenis tanaman yang saya rasa mirip dengan pare dan juga menghitung hasil panen cabai. Saya memang belum membaca lengkap dan terperinci novel karya Pramoedya Ananta Toer ini dan secara pasti tahu apakah memang Pram menggambarkan Nyai Ontosoroh menanam sayuran seperti pare dan cabai dan berusaha memperdagangkannya, karena jika jawabannya adalah iya, rasanya sungguh aneh dan bertentangan dengan logika ekonomi pada masa tersebut.

Kehadiran Belanda di Nusantara, seperti yang kita ketahui, dilandasi oleh keinginan untuk memonopoli pasar perdagangan rempah. Dorongan ini ini dipicu oleh kejadian yang terjadi dimasa sebelumnya ketika beberapa bangsa yang ada di timur tengah memutus jalur perdagangan antara Asia jauh dengan eropa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun