Mendapat efek dari kejadian di masa sebelumnya, bangsa Eropa mulai berlomba-lomba mengembangkan teknologi navigasi laut dan perkapalan mereka untuk mereka gunakan dalam penjelajahan samudra di dunia, masa ini dikenal dengan sebutan The age of Discovery. Singkatnya bangsa eropa pun menemukan sumber dari penghasil rempah-rempah yang mereka hargai dengan nilai tinggi yaitu wilayah-wilayah di Asia dan wilayah-wilayah di benua baru Amerika.
Melalui VOC dan kemudian kerajaan Belanda  itu sendiri, orang-orang Belanda berusaha menguasai wilayah nusantara untuk mereka manfaatkan hasil alamnya. Mereka mencari tanaman rempah ke wilayah Maluku, sumatra, dan jawa; menggali hasil tambang di Papua dan Kalimantan; dan juga membuat perkebunan yang menghasilkan komoditas dagang bagi mereka, seperti perkebunan tebu, teh, tembakau, karet. Sayangnya saya jarang mendengar bahwa orang-orang eropa ini memerlukan sayur-sayuran sebagai komoditas dagang mereka, walaupun tentu masih dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Wonokromo sebuah wilayah yang digambarkan sebagai tempat keluarga Mellema bermukim selama di East-Indies, merupakan wilayah dataran rendah yang dekat dengan wilayah pantai dan laut. Fakta ini akan menyadarkan kita bahwa mungkin iklim Wonokromo bukanlah iklim yang ideal untuk menanam sayur-sayuran, sedangkan di sisi lain tanaman tebu yang kebetulan merupakan komoditas dagang pada saat itu mungkin saja lebih cocok untuk ditanam di sana.Â
Keberadaan perkebunan tebu di wilayah Jawa Timur pada masa kolonial pun juga dapat ditelusuri jejak arkologisnya. Jejak ini mengungkap kepada kita bahwa mungkin perkebunan Tebu di wilayah Jawa Timur mendapatkan perhatian khusus dari pihak Belanda pada masa itu karena terdapat beberapa gudang dan rel untuk lori-lori pengangkut hasil perkebunan tebu yang ada di wilayah Jawa Timur.Â
Jadi dengan konteks sejarah seperti itu akan sangat sulit bagi saya membayangkan seorang Herman Mellema yang merupakan hartawan Belanda, bangsa yang membutuhkan dan menilai tinggi komoditas perkebunan, menggunakan lahan perkebunannya di Wonokromo untuk menanam sayuran untuk diperdagangkan. Â
Baiklah saya tidak akan melanjutkan celotehan saya mengenai latar dari film Bumi Manusia terhadap konteks sejarah yang sebenarnya, karena besar kemungkinan saya yang justru salah menjabarkan fakta-fakta yang terkait.Â
Namun inilah harapan saya ketika sebuah karya novel disajikan kembali dalam bentuk film, film yang kuat dalam elemen visual seharusnya dapat menggali dan merekonstruksi ulang peristiwa yang diceritakan di dalam novel dan memberikan patokan dan arah yang lebih akurat dibandingkan dengan imajinasi-imajinasi individual di masa mendatang yang sudah terlepas dari konteks sejarah saat cerita itu dituturkan.Â
Film dengan tema kesejarahan seharusnya membawa keunggulannya dalam bidang penggambaran yang nyata.
Gagalnya interpretasi karya sastra Bumi Manusia
Keesokan harinya setelah saya menonton film Bumi Manusia, saya menemukan video yang diunggah oleh kanal 'Asumsi' dari platform berbagi video, Youtube. Video tersebut menayangkan berbagai wawancara ke beberapa tokoh masyarakat mengenai novel Bumi Manusia karya Pram dan juga komentar tentang berbagai versi adaptasinya dalam bentuk teater maupun yang baru kita saksikan sekarang ini adalah: film.Â
Masing-masing tokoh seperti Budiman Sudjatmiko, Faiza Mardzoeki, Felix Nesi, dan Goenawan Mohamad menceritakan pengalaman mereka mengenai cerita dalam Novel Bumi Manusia itu, bagaimana mereka berkenalan dengan karya-karya dari Pram, bagaimana mereka menginterpretasikan karya tersebut,dan bagaimana karya tersebut menginspirasi mereka atau bagaimana penilaian mereka terhadap karya pram tersebut.Â