Mohon tunggu...
Pohon Kata
Pohon Kata Mohon Tunggu... Freelancer - Going where the wind blows

Ketika kau terjatuh segeralah berdiri, tak ada waktu untuk menangis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Damar Nusantara #3 (Bang Jenggo yang Mencari Jalannya)

30 Maret 2020   14:12 Diperbarui: 30 Maret 2020   14:06 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Orang-orang baik tumbang bukan hanya karena banyaknya orang jahat, tetapi karena banyaknya orang-orang baik yang diam dan mendiamkan"

Sore itu kumasukkan perlengkapan ke shelter warung Mbok Yem, cuaca dingin mulai menyerang puncak Lawu. Langit gelap rasanya mau turun hujan. Padahal aku berencana mengunjungi beberapa spot untuk kudokumentasikan, beberapa musabab diantaranya karena tadi langsung menuju shelter dan meneguk kopi mbok Yem.

Bang Jenggo yang mencari jalannya...

"Bro...minta api", sela lelaki setengah baya dengan badan tegap dan bertato dilengan kanannya. Mata nanar, tajam dan berambut ikal tak terurus.

"Sebentar bang", tukasku sambil merogoh korek api dari saku celana tactical yang kupakai.

Kuulurkan korek api zippo beserta senyum yang kuberikan padanya. Sedikit tanganku bersentuhan dan seperti biasanya...secara tak kasat mata, badanku seakan terhenyak, gambaran kehidupan orang dihadapanku ini terputar namun sekilas, penuh gelap, penuh amarah namun ada hawa sejuk yang menyelimuti.

"Terima kasih bro, ini koreknya", serunya sambil menyerahkan zippoku.
Dalam sekali hisapan rokoknya, seakan ada sesuatu yang memang disembunyikan dan merupakan beban berat dibenaknya.

Kuberanikan bertanya, "Bang kalau boleh tahu, abang darimana berasal?"

"Aku dari Jakarta bro, namaku Jenggo aku sudah menginap di shelter ini sejak 2 hari yang lalu.", tanpa ekspresi dan datar.

"Hmmm...nama saya Damar bang, Damar Nusantara."

"Ha..ha...ha...nama yang bagus Dam. Untuk apa kamu mendaki lawu. Bukannya kamu nggak kuliah? Dapat apa kamu dengan mendaki? " tawanya memecah kesunyian.

"Saya mendaki Lawu ini hanya sebuah permulaan bang, perjalanan yang saya rencanakan menapaki keindahan Nusantara, belajar keragamannya. Entah itu sebuah kota, gunung, daerah ataupun laut yang pasti saya ingin terus berjalan membuka mata, memperkaya jiwa hingga batas cakrawala kalbu saya." jawabku

"Wooo....mantabs."
"Uangmu pasti banyak bro...perjalanan yang kau sebutkan tadi pasti butuh logistik yang tidak sedikit, butuh fulus yang banyak dan perlu energi yang tak terhingga", tanyanya dengan keheranan.

Dengan tersenyum akupun menjawab, " Tidak bang, saya membawa uang secukupnya...logistik juga seperlunya. Saya juga nggak tahu kedepannya, terealisasi apa tidak rencana itu he...he..."

"Akan tetapi tidak apa-apa Dam, lanjutkan keinginanmu. Mumpung masih muda, langkahmu masih panjang."
"Bertemulah dengan orang-orang, tidak usah pilih-pilih teman. Jangan seperti saya, lampauku sudah salah jalan hingga aku sampai disini, mengasingkan diri, ingin berubah dan menenangkan hati."

Kalimatnya terhenti sejenak, tercekat dalam diamnya diantara hembusan angin puncak dan gerimis diluar sana.
Mbok Yem masih saja berkutat dengan perapiannya, menyiapkan makan sore buat kami penghuni shelter dan para pendaki.

"Damar", kata bang Jenggo memecah hening.

"Iya bang..."

"Kalau melihat aku apa yang kau pikirkan?"

"Abang gagah, sangar ", jawabku berupaya jujur dengan memendam memoriku tentang gambaran beliau.

Bang Jenggo tersenyum, "Betul...pasti itu yang pertama orang menilai diriku"
"Tapi memang itulah aku, saya dulu anggota sebuah genk, bekerja tanpa hati, tak segan berbuat kasar bahkan tak enggan untuk menghilangkan nyawa !", lanjutnya dengan suara lirih bahkan seakan berbisik.

"Hingga aku kehilangan segalanya, keluargaku musnah dibunuh genk lawan , hanya karena bisnis, hanya karena ego dan keinginan tanpa batasku", sudut matanya berlinang hingga mengaburkan kesangarannya.

Aku terdiam, berusaha menjadi pendengar yang baik tanpa berupaya menggali lukanya.
Yang saya tahu, pasti mengguncang jiwanya.

"Istriku, anak semata wayangku...maafkan bapak ", serunya sambil menangis menderu.

Mbok Yem melongokkan wajahnya, seakan ingin tahu apa yang terjadi saat itu. Ku kode agar tidak beranjak dari tempatnya.

"Bang...sabar, pasti ada hikmah dari semua itu", aku berupaya menenangkan sebisa mungkin.

Bang Jenggo menghela nafas panjang dengan raut muka sedih dan muram. Saya sadar, beliau butuh teman untuk membagi beban. Saya faham beliau butuh tempat untuk berbagi cerita.

"Aku ingin bertobat Damar.", lirihnya dalam bersuara.

"Bang...badai kehidupan pasti berlalu, banyak jalan untuk berbuat baik, banyak cara untuk bertobat. Tuhan Maha Pengampun, pintuNya selalu terbuka buat kita yang ingin membenahi diri bukankah perjalanan di muka bumi ini hanya sebuah awal bang. Tak ada kata terlambat untuk itu, maaf bukan maksud saya untuk menggurui bang ", kataku dengan pelan dan hati-hati.

Mata bang Jenggo masih tetap tajam menelanjangiku, sambil tersenyum dia berkata, " Damar, hatimu tulus...pasti kedua orang tuamu mendidikmu dengan baik pula. Bersyukurlah kamu, saya yakin dalam perjalanan impianmu nanti...mengelilingi Nusantara akan baik-baik saja."

"Semoga bang", senyumku mengiringi bibir yan berucap.

"Tapi ingat, diluar sana nanti. Diantara perjalananmu pasti akan ada aral, menemui kerasnya jalanan dan mungkin saja tak sesuai harapanmu. Yang jelas, jangan ikuti jejak langkahku saat lampau ketika kau masuk ke dunia seperti yang pernah kulalui maka akan sulit dan banyak perjuangan yang akan kau alami."

"Terima kasih Damar... sudah menjadi pendengar keluhku sore ini, ngomong-ngomong trus kita mau apa sekarang? Diluar hujan."

" Terima kasih juga bang, sudah mempercayai saya untuk berbagi cerita."
"Mungkin sudah saatnya saya membantu mbok Yem menyiapkan masakannya bang, saya sudah janji ke simbok untuk membantu disini untuk beberapa hari kedepan...permisi bang, nanti kita sambung lagi obrolan lainnya"

"Oke ...silahkan Damar." sahut bang Jenggo.

Sayapun menghampiri simbok, bergabung dengan kesibukannya ....berkutat di dapur warung Lawu. Senyum simbok menyambutku dengan harap.

"Mbok...kopi dan mi instant 4 ya !", teriak serombongan pendaki yang basah kuyup di depan pintu warung.

"Nggih mas silahkan masuk saja, diluar hujan", simbok menjawab.

"Mbok biar kubuatkan ya pesanannya?" pintaku saat itu.

Simbok mengangguk.

Tawa dan kedinginan bercampur jadi satu saat itu. Warung Mbok Yem selalu saja jadi saksi sejarah kejadian dari waktu ke waktu. Menjadi saksi lelahnya orang-orang, bahagianya pendaki dan berbagai macam cerita dari segala penjuru oleh penikmat Lawu. Dan Gunung Lawu bahkan sebagai saksi bisu legenda sejak dulu kala...dikala Prabu Brawijaya dan 2 abdi kinasihnya menapakkan kaki di Puncaknya.

Sore menjelang gelap, bahkan gulita karena hujan. Kehidupanpun masih berjalan, antara kedamaian, berbagai macam permasalahan diantara dingin yang menghujam.

bersambung...


(dn) yang selalu menyalakan mimpi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun