"Saya mendaki Lawu ini hanya sebuah permulaan bang, perjalanan yang saya rencanakan menapaki keindahan Nusantara, belajar keragamannya. Entah itu sebuah kota, gunung, daerah ataupun laut yang pasti saya ingin terus berjalan membuka mata, memperkaya jiwa hingga batas cakrawala kalbu saya." jawabku
"Wooo....mantabs."
"Uangmu pasti banyak bro...perjalanan yang kau sebutkan tadi pasti butuh logistik yang tidak sedikit, butuh fulus yang banyak dan perlu energi yang tak terhingga", tanyanya dengan keheranan.
Dengan tersenyum akupun menjawab, " Tidak bang, saya membawa uang secukupnya...logistik juga seperlunya. Saya juga nggak tahu kedepannya, terealisasi apa tidak rencana itu he...he..."
"Akan tetapi tidak apa-apa Dam, lanjutkan keinginanmu. Mumpung masih muda, langkahmu masih panjang."
"Bertemulah dengan orang-orang, tidak usah pilih-pilih teman. Jangan seperti saya, lampauku sudah salah jalan hingga aku sampai disini, mengasingkan diri, ingin berubah dan menenangkan hati."
Kalimatnya terhenti sejenak, tercekat dalam diamnya diantara hembusan angin puncak dan gerimis diluar sana.
Mbok Yem masih saja berkutat dengan perapiannya, menyiapkan makan sore buat kami penghuni shelter dan para pendaki.
"Damar", kata bang Jenggo memecah hening.
"Iya bang..."
"Kalau melihat aku apa yang kau pikirkan?"
"Abang gagah, sangar ", jawabku berupaya jujur dengan memendam memoriku tentang gambaran beliau.
Bang Jenggo tersenyum, "Betul...pasti itu yang pertama orang menilai diriku"
"Tapi memang itulah aku, saya dulu anggota sebuah genk, bekerja tanpa hati, tak segan berbuat kasar bahkan tak enggan untuk menghilangkan nyawa !", lanjutnya dengan suara lirih bahkan seakan berbisik.
"Hingga aku kehilangan segalanya, keluargaku musnah dibunuh genk lawan , hanya karena bisnis, hanya karena ego dan keinginan tanpa batasku", sudut matanya berlinang hingga mengaburkan kesangarannya.