Aku terdiam, berusaha menjadi pendengar yang baik tanpa berupaya menggali lukanya.
Yang saya tahu, pasti mengguncang jiwanya.
"Istriku, anak semata wayangku...maafkan bapak ", serunya sambil menangis menderu.
Mbok Yem melongokkan wajahnya, seakan ingin tahu apa yang terjadi saat itu. Ku kode agar tidak beranjak dari tempatnya.
"Bang...sabar, pasti ada hikmah dari semua itu", aku berupaya menenangkan sebisa mungkin.
Bang Jenggo menghela nafas panjang dengan raut muka sedih dan muram. Saya sadar, beliau butuh teman untuk membagi beban. Saya faham beliau butuh tempat untuk berbagi cerita.
"Aku ingin bertobat Damar.", lirihnya dalam bersuara.
"Bang...badai kehidupan pasti berlalu, banyak jalan untuk berbuat baik, banyak cara untuk bertobat. Tuhan Maha Pengampun, pintuNya selalu terbuka buat kita yang ingin membenahi diri bukankah perjalanan di muka bumi ini hanya sebuah awal bang. Tak ada kata terlambat untuk itu, maaf bukan maksud saya untuk menggurui bang ", kataku dengan pelan dan hati-hati.
Mata bang Jenggo masih tetap tajam menelanjangiku, sambil tersenyum dia berkata, " Damar, hatimu tulus...pasti kedua orang tuamu mendidikmu dengan baik pula. Bersyukurlah kamu, saya yakin dalam perjalanan impianmu nanti...mengelilingi Nusantara akan baik-baik saja."
"Semoga bang", senyumku mengiringi bibir yan berucap.
"Tapi ingat, diluar sana nanti. Diantara perjalananmu pasti akan ada aral, menemui kerasnya jalanan dan mungkin saja tak sesuai harapanmu. Yang jelas, jangan ikuti jejak langkahku saat lampau ketika kau masuk ke dunia seperti yang pernah kulalui maka akan sulit dan banyak perjuangan yang akan kau alami."
"Terima kasih Damar... sudah menjadi pendengar keluhku sore ini, ngomong-ngomong trus kita mau apa sekarang? Diluar hujan."