"Perang dan perlawanan adalah konsekuensi daripada Kemerdekaan. Maka setiap orang yang mengaku setia kepada Ibu Pertiwi menyerahkan jiwa raga mereka untuk mempertahankan kemerdekaan, buah daripada Proklamasi 17 Agustus 1945."Â (Ahmad Yunus Mokoginta)
Letnan Jendral (TNI) Ahmad Yunus Mokoginta sebagai putra Bolaang Mongondow telah menghabiskan sebagian hidupnya untuk menjadi putra pertiwi yang turut berjuang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Revolusi Indonesia antara tahun 1945-1949 menjadi titik penting untuk menentukan nasib bangsa Indonesia dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaanya. Untuk itu pada masa ini banyak peristiwa-peristiwa penting yang terjadi baik perang dan diplomasi untuk memperoleh kemerdekaan dan pengakuan atas perjuangan bangsa Indonesia.
Pertempuran Surabaya, Medan Area, Ambarawa, Bandung Lautan Api mungkin melekat dalam memori kolektifitas bangsa Indonesia sebagai bukti kesunguhan dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa meski berada di bawah desingan peluru musuh.
Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947), Perjanjian Renvile (17 Januari 1948), Perjanjian Roem-Royen (7 Mei 1949), hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berujung pada pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 adalah diplomasi-dilpomasi yang dilakukan untuk menentukan nasib bangsa yang masih berada dalam bayang-bayang Belanda. Semua perjuangan itu adalah bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat dan siap menghadapi segala macam ancaman baik dalam kondisi perang maupun damai.
Beberapa babakan penting sejarah tersebut turut membawa seorang putra Bolaang Mongondow Ahmad Yunus Mokoginta (selanjutnya A.Y. Mokoginta) ke dalam medan perjuangan. A.Y. Mokoginta menjadi simbol kebangaan orang Mongondow akan peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Hingga kini kiprah dan perjuangan beliau telah cukup banyak ditulis untuk menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia khusunya di Bolaang Mongondow Raya. Untuk itu, catatan ini juga hanya menjadi pelengkap saja beberapa informasi yang telah banyak diulas tentang diri beliau. Catatan ini mencoba mengungkap beberapa peran beliau secara khusus dalam Divisi Siliwangi sebagaimana yang dicatat dalam buku "Siliwangi dari Masa ke Masa" yang disusun oleh Dinas Sejarah Kodam Militer (Disjarahdam) VI/ Siliwangi, diterbitkan pada tahun 1979 oleh Penerbit Angkasa Bandung.
A.Y. Mokoginta lahir di Kotamobagu pada 28 April 1921. Ayahnya bernama Abram Patra Mokoginta yang merupakan Djogugu Kerajaan Bolaang Mongondow. Sedangkan ibunya Bua Baay Cornelis Manoppo adalah putri Raja Bolaang Mongondow Datoe Cornelis Manoppo (1901-1926). A.Y. Mokoginta meski hidup sebagai bagian dari keluarga kerajaan terpandang, namun sikap dan prinsipnya mulai terbentuk dari pergulatan dan pengalamannya selama ia menempuh pendidikan militer di Akademi Militer Breda. Jiwa patriotik tumbuh di tempat ini seiring dengan pertemanannya dengan Nasution, Kawilarang, dan kawan seangkatannya. Berikut adalah beberapa kiprah beliau dalam Divisi Siliwangi.
Komandemen Jawa Barat-Jakarta Raya
A.Y. Mokoginta menjadi prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang bertugas di Komandemen Jawa Barat-Jakarta Raya. Nama Resmi Komandemen Jawa Barat adalah Komandemen I Jawa Barat dan berkedudukan di Purwakarta. Panglimanya adalah Didi Kartasasmita dengan pangkat Mayor Jendral, sedangkan Abdul Haris Nasution dengan pangkat kolonel ditetapkan sebagai Kepala Stafnya. Pada Mulanya Komandemen I Jawa Barat itu berkedudukan di Tasikmalaya. Akan tetapi pindah ke Purwakarta (Disjarahdam VI/ Siliwangi, 1979: 31).
Ajudan pada Komandemen I adalah Kapten A.Y. Mokoginta. Di antara para perwira stafnya adalah Kolonel Abdul Kadir yang kemudian diangkat menjadi Paglima Divisi "Sunan Gunung Jati" di Cirebon. Selanjutnya Letnan Kolonel Hidayat Sukarmawijaya (kemudian menjadi Komandan Resimen di Bogor), Letnan Kolonel Rakhman Kartakusumah, Mayor Akhmad Sukarmawijaya, Mayor A.E. Kawilarang yang kemudian dipindahkan ke Bogor untuk menjabat Kepala Staf Resimen (Disjarahdam VI/ Siliwangi, 1979: 31).
Pada masa-masa awal ini boleh dibilang masih berada pada kondisi yang sulit. Tentara yang dibentuk bahkan belum memiliki persenjataan yang lengkap. Mereka terus mengupayakan mendapatkan persenjataan yang bisa digunakan untuk melawan kekuatan Sekutu yang memboncengi NICA. Meski begitu perlahan tapi pasti kekuatan Divisi Siliwangi mulai tertata dan ini menjadi modal yang cukup untuk tertib administarasi dinas ketentaraan.
Brigade III/Kian Santang
Jabatan mula-mula A.Y. Mokoginta dalam kesatuan Corps Siliwangi adalah menjabat sebagai Kepala Staf Brigade III/Kian Santang dengan pangkat Mayor. Brigade ini berkedudukan di wilayah Purwakarta meliputi daerah Purwakarta dan Kerawang. Beberapa perwira tergabung dalam Brigade ini antara lain Letkol Sidik Brotoatmojo, Letkol Umar Bakhsan, Mayor Cecep Aryana Prawira, Mayor Mustafa Kamal, Letkol Sadikin, Kapten Marjono, dan lain-lain. (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 42)
Pada 1 April 1947 Brigade IV/Guntur menjelma menjadi dua Brigade yaitu Brigade I dengan komandan brigade Letkol Daan Yahya dan Kepala Staf Kapten D. Kosasih, dan Brigade II dengan Komandan Brigade Kolonel Hidayat dan Kepala Staf Letkol Askari yang kemudian digantikan oleh Mayor A.Y. Mokoginta. Ini juga menjadi jabatan kedua A.Y. Mokoginta di Corps Siliwangi.
Tahun 1947 ketika fokus Belanda sedang tertuju pada taktik diplomasinya, maka A.H. Nasution membagi Jawa Barat menjadi III Wehrkreise dari Divisi Siliwangi. Kolonel A.H. Nasution memimpin Wehrkreise I yang membawahi Garut dan Jawa Barat sebelah Barat; Wehrkreise II dipimpin oleh Kolonel Hidayat yang merupakan Komandan Brigade IV/Guntur II yang bersama-sama dengan Mayor A.Y. Mokoginta membawahi Tasikmalaya sebelah utara, Ciamis, Sumedang, Purwakarta, dan Cirebon. Wehrkreise III sendiri dipimpin oleh Letkol Sutoko yang membawahi Garut sebelah timur, Ciamis Selatan sampai perbatasan Jawa Tengah.
A.Y. Mokoginta bersama dengan Kolonel Hidayat di Wehrkreise II melakukan perlawanan di pos-pos tentara Belanda. Ini dilakukan secara serentak juga di Wehrkreise I dan II dengan taktik gerilya hingga melahirkan Perjanjian Renville. Suatu peperangan gerilya bukanlah sekedar operasi militer, bahkan bagian terbesarnya merupakan masalah pembinaan basis-basis perlawanan gerilya itu sendiri. (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 115).
Korps Reserve Umum "KRU Z"
Korps Reserve Umum "KRU Z" adalah gabungan beberapa "Brigade Siliwangi" yang melakukan hijrah ke Yograkarta sejak tanggal 4 Februari 1949 sebagai konsekuensi dari Perjanjian Renvile yang menjadi kerugian besar bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di antara poin penting dari Perjanjian Renvile adalah harus menarik TNI dari Jawa Barat dan Jawa Timur karena Belanda hanya mengakui Jawa Tengah dan Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia.
Setelah perjanjian tersebut maka susunan Divisi Siliwangi yang nantinya akan melakukan hijrah ke Yogyakarta adalag: Brigade Siliwangi I (berkedudukan di Yogyakarta, Brigade Siliwangi II (berkedudukan di Kota Solo), Brigade Siliwangi "Tambahan" dengan Batalyon I, Batalyon II/Husinsyah, Batalyon III/Rivai, Batalyon IV/Sudarman. Brigade-brigade tersebut itulah yang kemudian masuk dalam "Korps Reserve Umum (KRU) "Z". Susunan personalia pimpinan Korps Reserve Umum (KRU) "Z) menempatkan Letnan Kolonel A.Y. Mokoginta sebagai wakil panglima setelah pada tanggal 17 September 1948 mengantikan Kolonel Gatot Subroto selaku Komandan CPM Jawa. Hal ini karena Kolonel Gatot Subroto diangkat menjadi Panglima Reserse Umum (KRU).
Susunan personalia KRU "Z" antara lain: Kolonel Dr. Mustopo (Panglima), A.Y. Mokoginta (Wakil Panglima), Letkol Daan Yahya (Kepala Staf), Mayor D. Kosasih (Kepala Seksi I), Mayor Abdul Kadir (Kepala Seksi II), Mayor Saragih (Kepala Seksi III), Mayor Suprayogi (Kepala Seksi IV) (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 127).
Panglima Teritorium Indonesia Timur
Konsep pertahanan teritori adalah di antara konsep pertahanan yang digagas oleh A.H. Nasution sejak tahun 1947. Pembagian ini berlangsung pada tahun 1950 yang terdiri atas tujuh teritorium di Indonesia antara lain Teritorium Indonesia Timur (kemudian berganti Tentara dan Teritorium VII/Wirabuana) yang luasnya meliputi Pulau Sulawesi, Nusa Tengara, Bali, Maluku, Papua, dan sebagainya. Panglima pertama Teritorium Indonesia Timur adalah Letnan Kolonel A.Y. Mokoginta yang berkedudukan di Makassar.
Pada tahun 1950 terjadi Pemberontakan Andi Azis di Makassar akibat perbedaan paham antara konsep mendukung negara federal dalam tubuh TNI atau menjadi negara kesatuan. Pada tanggal 30 Maret 1950 dalam suatu upacara, Andi Azis beserta satu kompi anak-anak bekas KNIL diterima masuk APRIS oleh Letkol A.Y. Mokoginta. Andi Azis kemudian diangkat menjadi komandan kompi dengan pangkat Kapten.
Namun pada tanggal 5 April 1950, kira- kira pukul 05.00 pagi dengan tiada terduga- duga sama sekali, Kapten Andi Abdul Azis telah menggerakkan kompinya un tuk menyerbu, melucuti dan menawan Letnan Kolonel Mokoginta beserta semua anggota Stafnya, semua perwira dan bawahan, serta CPM yang ada di Hotel Negara, Klapperlaan dan tempat- tempat lain nya di kota Makasar. Penyerbuan terhadap asrama CPM mendapat perlawanan yang cukup gigih dari para anggotanya. Lapis -baja pasukan Andi Abdul Azis meyerbu masuk ke halaman asrama, melakukan tembakan tembakan dari jarak dekat. Oleh karena keadaan pasukan Andi Abdul Azis jauh lebih kuat, maka asrama CPM berhasil mereka duduki. Sebagian dari anggota CPM berhasil ditawan sedangkan sebagian lagi berhasil meloloskan diri untuk kemudian mengadakan perlawanan terus bersama- sama dengan kawan- kawan seperjuangan yang berada di luar kota Makasar (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 249).
Pemberontakan Andi Azis tidak berlangsung lama karena kembali berhasil dipadamkan oleh TNI di bawah Kolonel Kawilarang. Beberapa waktu kemudian Letkol A.Y. Mokoginta kembali di tarik ke Jakarta dan Teritorium Indonesia Timur diserahkannya kepada Kolonel A.E. Kawilarang.
Penumpasan Permesta di Bolaang Mongondow 1959
A.Y. Mokoginta memiliki andil yang cukup besar untuk membebaskan tanah kelahirannya Bolaang Mongondow dari Pergolakan Permesta (1957-1959). Sebagaimana dalam "Siliwangi dari Masa ke Masa" di catat beberapa peran beliau dalam memadamkan pemberontaka.
Untuk merebut Kotamobagu yang menjadi misi utama Batalyon 330, pada tanggal 7 September 1959 pendaratan pasukan akan dibagi dua yakni pasukan yang akan masuk dari wilayah selatan dan pasukan lainnya yang akan melakukan serangan dari arah utara. Untuk penunjuk jalan oleh KODAM Merdeka telah diperbantukan tiga orang yakni Husain Damopolii, dkk.
Kolonel A.Y. Mokoginta sendiri untuk membebaskan tanah kelahirannya dari cengkaraman Permesta memimpin infiltrasi awal sekaligus juga sebagai penunjuk jalan ke sana bersama 40 orang partisannya yang bergabung pada 7 September 1959. 40 orang yang ikut serta bersama Mokoginta akan dibagi-bagikan ke dalam kompi-kompi Batalyon 330. Setelah semua pasukan telah mengkonsolidasikan diri maka serangan menuju Kotamobagu akan secepatnya dimulai.
Peran beberapa rekrutan penduduk asli (partisan) yang dibentuk oleh A.Y. Mokoginta sangat penting. Mereka menjadi penunjuk jalan sekaligus menjelaskan kontur wilayah dan menjembatani komunikasi antara prajurit Siliwangi dan penduduk asli.
Para penunjuk jalan di masing-masing kompi adalah rekrutan Kolonel Mokoginta. Partisipasi para penduduk asli sudah sangat luar biasa untuk memberi informasi mengenai kondisi medan tempur yang kini di depan mata. Kebenaran info dari mereka adalah kunci. Para penduduk ini sangat setia dan loyal terhadap pesan Mokoginta untuk membantu prajurit Siliwangi memenangkan pertempuran berdarah selama operasi pembebasa Kotamobagu September 1959.
Badan Pembina Corps Siliwangi
Sebagaimana dalam buku "Siliwangi dari Masa ke Masa" dijelaskan bahwa Badan Pembina Corps Siliwangi mula- mula dalam bentuk Penyedar Jiwa Corps Siliwangi yang ditetapkan oleh Panglima Tentara & Territorium III (KODAM VI /Siliwangi) dengan Surat Keputusan No. Kpts. 10/5/56 tertanggal 20 Mei 1956. Penyedar Jiwa Corps Siliwangi itu mendapat pengukuhan di dalam Re-Unie Perwira dan bekas bekas Perwira Divisi Siliwangi dalam rangka HUT Siliwangi yang ke- X, berlangsung pada tanggal 21 Mei 1956 dan mengambil tempat di Aula STT-Institut Teknologi sekarang -- di Bandung (Disjarahdam VII/Siliwangi, 1979: 449).
Re-Unie ini dihadiri oleh 126 perwira dan berka perwira Divisi Siliwangi antara lain Kolonel A.H. Nasution, Kolonel Sadikin, Kolonel Abimanyu, Kolonel A.E Kawilarang, Kolonel Sukanda Bratamenggala, Kolonel Pensiun Hidayat (kelak aktif lagi), Letnan Kolonel Pensiun Sujono, Letnan Kolonel Pensiun Sutoko dan lain lainnya. Adapun dasar- dasar daripada Penyedar Jiwa Korps Siliwangi itu disusun oleh sebuah Panitia yang keanggotaannya sebagaimana tersebut di bawah ini:
- Mayor Mashudi (Ketua)
- Mayor M. Nawawi Alief (Panitera)
- Letnan Kolonel A.Y. Mokoginta (Anggota)
- Letnan Kolonel Sentot Iskandardinata (Anggota)
- Letnan Kolonel Suhardi (Anggota)
- Mayor Rakhmat Sulaeman (Anggota)
- dll
Dokumen penyederan jiwa Korps Siliwangi menjadi pokok-pokok pikiran yang penting bagi tiap anggota Siliwangi hingga saat ini. A.Y. Mokoginta terlibat dalam penyusunan dokumen ini sebagai anggota penyusun. Demikian sebagian catatan penting tentang kiprah A.Y. Mokoginta dalam kesatuan Divisi Siliwangi yang dicatat dalam buku "Siliwangi dari Masa ke Masa (1979)". Tidak semua kiprah beliau dicatat secara lugas sehingga kedepan butuh penelitian dan riset yang lebih mendalam bila ingin membaca secara keseluruhan perjuangan beliau untuk Ibu Pertiwi. Semoga catatan ini bisa menambah referensi bacaan tentang A.Y. Mokoginta.
*Penulis adalah peneliti sejarah lokal Bolaang Mongondow Raya (BMR) di Sulawesi Utara. Menulis Buku Perlawanan Rakyat di Pedalaman Mongondow Tahun 1902 (Penerbit Ombak, 2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H