Mohon tunggu...
Dini Kusuma Wardinny
Dini Kusuma Wardinny Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

baik hati, ramah tamah dan tidak somse :) dan.... aku ingin menjadikan hari ini lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. adakah saranmu untukku?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Andrastea

4 Oktober 2011   02:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:22 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Purnama tesenyum indah

Dan bintang-bintang bertepuk tangan

Jadi, apa alasannya hingga kesedihan dapat mencekik dan membunuh kita?



Saat aku berusia 16 tahun dan duduk di kelas 11 SMA, kejadian mengejutkan benar-benar terjadi. Aku bisa melihatnya, menyentuhnya dan benar-benar bisa bersamanya, Yupiter.

Andrastea, nama yang aneh tapi, aku senang sekali dengan namaku. Namaku adalah nama satelit yang selalu mengitari Yupiter. Yupiter adalah planet yang besar, walaupun Yupiter tidak memiliki cincin seperti Saturnus, Yupiter tetaplah indah dimataku.

Di malam yang cerah, aku berbaring di atap rumahku. Melihat jauh ke langit, Indah. Pernah aku membayangkan, bila aku berada di luar angkasa, jauh dari bumi pasti aku akan bisa melihat pemandangan yang jauh lebih indah. Aku akan melihat bumi bagaikan bola kecil yang mengelilingi bola-bola lain yang bersinar, matahari namanya.

Aku menjauh dari bumi. Disini aku sendirian tidak ada yang menjadi temanku. Bagiku di bumi sangatlah sulit. Banyak hal-hal yang sukar aku pahami, banyak hal-hal yang membuat aku sedih.

14 Februari, hari yang kelabu. Lea, melemparku dengan bola basket dan aku pun pingsan. Saat aku tersadar sudah ada banyak orang disekitarku. Beberapa teman kelas dan guru. Tak pernah aku membayangkan mereka ada didekatku, maksudku sedekat ini. Aku bangun dan tersenyum.

"Asti, kamu ngapain sampai pingsan begini." Ucap bu Linda, begitu keras sampai kupingku agak berdengung, "Kamu kan nggak bisa main bola basket, jangan dekat-dekat lapangan basket dong!"

"Dasar anak lemah, baru kena bola gitu aja udah pingsan." sambung yang lain.

"Huh, letoy!"

Stop! Berhenti! Apa-apaan ini?

"Sekarang kamu sakit karena kesalahan kamu sendiri, Asti."

Hah? Kesalahanku? Bukanlah Lea yang dengan sengaja melempar bola basket ke kepalaku. Aku sadar kok, aku ingat saat dia teriak senang ketika berhasil menyakitiku. Kenapa mereka semua menyalahkannku? Aku bukanlah orang yang tepat untuk mereka sudutkan seperti ini.

Tanpa daya, aku pulang dan menangis. Sebenarnya aku ingin sekali melawan, namun kupikir tak akan banyak berguna. Saat itu aku hanya nak kelas 4 SD sementara Lea sudah kelas 6 SD. Kalaupun ada yang membelaku karena aku lebih muda, Lea pasti akan tetap mengusik ketenangan hidupku.

Pada malam yang cerah, hanya bintang-bintang yang menjadi temanku. Aku berbaring di atap sambil memandang bintang-bintang, kadang rembulan. Keduanya begitu indah, menghiasi malam yang gelap dan dingin. Alfa dan Sirius adalah dua bintang favoritku. Aku dikenalkan pada mereka oleh ayahku. Dua bintang itulah yang sekarang menerangi hatiku, menggantikan ayah dan ibuku.

***

"Andrastea! Segera ke ruang Kepala Sekolah." ucap guruku galak.

Ada apa ini? Apa yang dilalukan Lea, sampai-sampai Kepala Sekolah yang baru pun sudah memanggil aku. Seharusnya lea sudah pergi dari sekolah ini tapi karena otak dungunya itu aku masih harus bersama dia.

Aku sudah masuk di ruang Kepala Sekolah. Uh, ruangan ini begitu dingin, membuatku menjadi kecil hati. Tapi, aku harus berani menghadapi ini.

"Andrastea, selamat datang. Silakan duduk, nak." Ucap kepala Sekolah.

Aku duduk, berhadapan dengan Kepala Sekolah sambil dalam hati terus berdoa agar tidak ada sangsi yang berat untukku.

"Selamat Pagi.."

"Pagi, bu."

"Apa Kabar, Asti?"

"Kabar saya baik, bu. Terima kasih."

Aku makin deg-degan Ayolah, kenapa lama sekali eksekusi hukumanku.

"Selamat ya, Asti… " Ucap bu Rania. " Saya sudah membaca koran hari ini dan saya sangat terkesan dengan bakatmu."

"Bakat?!"

"Di surat kabar tercetak fotomu dengan ukuran yang besar…"

Aku nggak ngerti, "Masa…"

"Iya, puisi yang kamu buat menjadi juara pertama tingkat provinsi."

Apa lagi ini, "Puisi? Maaf mungkin ibu salah orang…"

Bu Rania lalu menunjukan kapadaku koran yang dia maksud, "ini kamu kan?"

Aku kaget, "Iya itu saya tapi bagaimana bisa?"

"Kamu harus membacakan puisi kamu untuk sekolah ini. Buat teman-teman kamu termotivasi dengan prestasi kamu.."

Aku diam, aku coba mengingat-ingat soal puisi ini. Seinggatku, aku tidak pernah mengirim puisi untuk diikut sertakan dalam lomba. Ehm, ini pasti ibu panti! Ibu pengasuhku dulu saat masih di panti asuhan, ibu panti pasti yang mengirmnya kepada panitia lomba.

"Asrti, kamu bersedia?"

***

Panitia lomba puisi mengundangkan untuk menghadiri pertemuan. Ini pertemuan hebat, banyak orang-orang terkenal akan datang kesini. Tapi aku tetap merasa sepi berada di tempat seramai ini.

"Nama saya Yupiter …"

Yupiter? Kupandangi lama-lama sesosok tubuh jangkung berambut ikal yang sedang berdiri di atas panggung. Dia sepertinya melihat kearahku dan kemudian tersenyum.

Oh ayolah sadar, nggak mungkin dia melihat kesini.

Yupiter turun dari panggung dan melangkah ke arahku. Nggak mungkin tapi, apa ini dia benar-benar ke arahku!!

"Halo, namaku Yupiter." Ucapnya ramah. Senyumnya manis.

"Aku Asti, Andrastea"

Dia diam sebentar, "Andrastea?"

"Ya"

"Kamu pasti saudarinya Sinope, Lysthea, Himalia, Amalthea, dan banyak lagi…"

Aku tercengang untuk beberapa detik, "Kamu tau?"

"Tentu aja, mereka semua satelit aku, termasuk kamu… yang sudah lama hilang."

"Maksudmu?"

"Kita berteman?

"Oke.." kami bersalaman.

"Aku ceritain ya…"

Yupiter membawaku ke taman di luar gedung pertemuan itu. Saat itu, langit mulai kehilangan cahaya dari bintangnya, matahari. Namun dengan segera bintang-bintang lain menghiasinya.

Yupiter berbisik, "Aku adalah seorang anak yang pemurung. Hari-hariku tak ada yang seindah pelangi. Begitu indah berwarna-warni. Aku adalah hitam. Seperti malam yang dingin. Aku bisu. Temanku adalah bintang-bintang dan segala yang dapat kulihat di angkasa… tapi, coba lihat di langit yang gelap ada rembulan, di langit yang gelap ada bintang-bintang. Mereka semua bertepuk tangan…"

"dengarkan semua bintang bertepuk tangan. Meriah sekali… lihat rembulan! Tersenyum lebar, bahagia."

Aku menangis saat itu juga. Seolah-olah semua duka yang ada di hatiku telat sirna, kelar bersama kata-kata Yupiter.

"Kamu kira itu isi hatimu?" Tanya Yupiter.

"Ya, kamu membacanya…"

"Aku membacanya tapi bukan di surat kabar itu. Aku membacanya di hatiku." Jawabnya tegas. "Aku tahu kamu kesepian, Asti. Aku akan menjadi Yupiter dan Andrastea, silakan kamu mengorbit bersamaku."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun