Ketika Kohlberg bercerita . . .
“Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”Tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Kohlberg merupakan salah satu seorang ilmuan yang ahli psikologi yang memberikan dapak dan perubahan besar dalam perkembangan psikologi. Dari cerita di ataslah yang mengawali Kohlberg menjadi penemu dalam dasar tahapan-tahapan moral dan tingkatan-tingkatan tertentu.
Konsep yang menjadi kunci untuk memahami perkembangan moral yakni perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadikan perubahan yang dikendalikan secara internal, teori ini yang medasari kohlberg dalam penemuannya.
Tahapan perkembangan Kohlberg
Kohlberg menemukan enam tahapan tehapan perkembangan moral yang kemudian di kelompokkan menjadi tiga tingkatan sesuai dengan kematangan seseorang jadi setiap satu tingkatan terdapat dua tahapan antara lain, pra-konvesional, konvesional, dan pasca-konvensional.
- Tingkatan Pra-Konvensional
Pada tingkatan ini, seorang individu tidak memperlihatkan bagaimana cara internalisasi nilai-nilai moral. Penalaran moral ini dikendalikan oleh sebuah imbalan atau biasa disebut dengan hadiah dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan di kontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapatkan hadiah sedangkan tingkah laku yang buruk akan mendapatkan hukuman.
Seseorang memiliki alasan tersendiri untuk bertindak atau tidak bertindak sesuatu karena untuk menghindari hukuman. Dengan hal ini anak akan mengkaitkan norma tersebut baik atau buruk atas apa yang telah dilakukan sesuai dengan tindakannya. Anak juga menilai norma tersebut sesuai dengan kekuatan fisik yang menerapkan norma-norma tersebut. Pada tingkatan pra-konvensional di bagi menjadi dua tahap yaitu :
- Tahap 1. Orientasi hukuman dan ketaatan
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan individu taat karena orang lain menuntut mereka untuk taat.
- Tahap 2. Relativistik Hedonism
Tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada aturan yang ada, anak lebih pada kepentingan diri sendiri. Mereka mulai menyadari bahwa suatu kejadian datangnya bersifat relative, dan anak lebih berorientasi pada prinsip kesenangan atau lebih senang jika anak mendapatkan sebuah hadiah.
Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah. Menurut Mussen, dkk. Orientasi moral anak masih bersifat individualisme, egosentris, dan konkrit.
2. Tingkatan Konvensional (moralitas Konvensional)
Pada tingkatan perkembangan moral konvensional memenuhi harapan keluarga, kelompok, masyarakat, maupun bangsanya yang merupakan tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut tanpa mengaitkan kepada konsekuensi yang akan terjadi, akan tetapi dibutuhkan loyalitas yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku. Pada tahap konvensional juga di bagi menjadi dua yaitu,
- Tahap 3. Orientasi mengenai anak yang baik
Sebuah persetujuan atau tidak kesetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakan yang dimilikinya. Mereka berusaha menjadi seorang anak yang baik untuk memenuhi harapan tersebut. Anak berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.
Penalaran tahap ketiga ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi sebuah konsekuensi dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyerkatakan hal seperti, rasa hormat, rasa terima kasih, dan golden rule.
- Tahap 4, mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas
Penalaran moral didasarkan pada kepatuhan akan hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Tahap keempat ini lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan akan individual, seperti dalam kebituhan tahap ketiga tetapi kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan individualnya sendiri (pribadi). menyadari bahwa kewajiban untuk melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya keberadaan norma.
Artinya, untuk dapat hidup secara harmonis kelompok sosial harus menerima peratran yang telah disepakati bersama dan melaksanakannya. Bila seorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral. Sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini yang memisahkan yang buruk untuk menjadi lebih baik. Karena negara kita merupakan negara hukum yang semuanya harus mentaati peraturan yang berlaku di Indonesia.
3. Tingkatan Pasca-Konvensional
Pada tingkatan ke tiga ini atau tingkatan pasca-konvensional juga dikenal dengan sebutan tingkat berprinsip yang terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalan entitas yang terpisah dari masyarakat kini yang semakin jelas. Prespektif seseorang harus terlebih dahulu di lihat sebelum ke prespektif masyarakat.
Akibat “hakekat diri mendahului orang lain”. pada tingkatan ini pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku tingkatan pra-konvensional. Pada tahapan inilah seorang individu berusaha untuk mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan perumusan nilai-nilai prinsip yang sah sehingga nantinya akan terlihat jelas bagaimana nilai moral itu dan nilai prinsip yang ada. Tingkatan Pasca-konvensional ini juga di bagi menjadi dua tahap yaitu:
- Tahap 5. orientasi pada perjanjian antara individu dengan lingkungan sosialnya
Benar salahnya suatu tindakan pada suatu permasalahan didasarkan sesuai dengan norma yang berlaku pada masyarakat dan sudah teruji kebenarannya. Tahap ini kematangan moral yang cukup tinggi di mana tindakan yang bermoral mampu merekfleksikan setiap hak individu dan memenuhi secara kritis yang ada di masyarakat.
Tahap inilah yang memungkinkan akan terjadinya kesepakatan secara mufakat. Sebagaimana jika seseorang yang tidak melakukan kesalahan maka orang tersebut akan di lindungi secara hukum dan norma yang berlaku karena mendapatkan perlindungan.
- Tahap 6. Prinsip Universal (menyeluruh)
Pada tahap ini ada norma etik dan norma pribadi yang bersifat subjektif. Dalam artian hubungan antara masyarakat dengan dengan seseorang terdapat dua unsur subjektif, apakah perilaku tersebut baik atau tidak baik, apakah perilaku tersebut sesuai moral atau tidak bermoral.
Dari sinilah di butuhkan secara universal mengenai unsur etik atau norma etik sebagai sumber dalam menentukan suatu perilaku yang berhubungan dengan moralitas. Setiap manusia mempunyai Hak Asasi manusia dan mempunya hak keadilan juga dalam bernegara sebagai suatu pribadi.
Dalam sebuah cerita kohlberg, teorinya menolak konsep pendidikan yang nilai atau karakternya memakai tradisional yang berdasarkan pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan seperti kejujuran dan kesabran yang menjadi landasan.
Oleh sebab itu kohlberg menggunakan pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan kasifikasi nilai yang bertolah, yang asumsinya bahwa dalam suatu jawaban tidak ada satu pun yang benar akan tetapi yang harus kita ketahui bahwa di dalamnya terdapat suatu nilai yang penting untuk dasar berfikir dan bertindak. Itulah cerita asal mula kenapa Kohlberg menemukan tingkatan 6 ini yang terjadi pada manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H