Mohon tunggu...
laakmale
laakmale Mohon Tunggu... Freelancer - Akmaluddin Rachim

Magang di Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Memahami Konsep Value Chain Mineral Berbasis Pasal 33 UUD 1945

6 Juli 2020   10:55 Diperbarui: 6 Juli 2020   11:05 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Basis Konstitusional Value Chain Mineral

Prinsip pengelolaan sumber daya mineral didasarkan pada Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Prinsip tersebut menjadi pegangan, ground norm, yang menjadi pijakan dalam tata kelola dan  tata usaha sumber daya mineral. Prinsip ini harus menjadi tujuan, baik dalam jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Untuk mencapai tujuan tersebut, prinsip itu wajib dipegang teguh oleh seluruh pihak atau stakeholder yang terlibat.

Prinsip pengelolaan sumber daya mineral dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945. Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal ini menjelaskan bahwa segala cabang produksi, termasuk sumber daya mineral, merupakan sesuatu yang sangat berharga karena penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Urgensi tersebut dalam pengelolaannya harus dikuasai negara.

Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 kemudian memerinci bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perincian itu menjelaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya milik negara dan rakyat. Hal itu kemudian dikuasakan kepada pemerintah untuk menguasai dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Menariknya, bahwa kedua ketentuan tersebut menyorot dan menekankan pentingnya pengusaan negara melalui frasa "dikuasai". Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi (the guardian and the interpreter of the constitution) telah memberikan tafsirannya melalui Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003. 

Menurut Hamdan Zoelva (Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015), terdapat tiga pemaknaan terhadap konsep hak pengusaan negara.[2] Ketiga pemaknaan tersebuat, antara lain: makna pertama, dikuasai oleh negara bila negara melakukan kekuasaan mengatur (regelendaad), mengurus (bestuuradaad), mengelola (beheersdaad), mengawasi (toezichthoedensdaad), yang mengacu pada Putusan MK 001-021-022/PUU-I/2003. 

Makna kedua, unsur terpenting dari penguasaan negara adalah "untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" dengan empat tolok ukur yaitu: pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat. Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam, dengan berdasar pada Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010.

Makna ketiga, untuk mencapai tujuan penguasaan negara yaitu "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat", maka bentuk penguasaan negara diberi peringkat berdasarkan kemampuan negara. Peringkat pertama, negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Peringkat kedua, negara membuat kebijakan dan pengurusan. Peringkat ketiga, negara melakukan pengaturan dan pengawasan, yang merujuk pada ketentuan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012.

Tafsir "dikuasai oleh negara" oleh MK secara gamblang menjelaskan keharusan kehadiran negara secara penuh dalam kekuasaan membuat kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. Selain itu, pendapat tersebut juga mengemukakan kedudukan daulat rakyat dalam keterlibatan dan pemanfaatan atas sumber daya alam yang telah berlangsung secara turun temurun. Dengan demikian, kehadiran negara dan keterlibatan rakyat tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini, negara dalam hegemoninya tidak boleh berkhianat kepada rakyat.

Rakyat sebagai warga negara dalam UUD NRI Tahun 1945 kedudukannya sangat dihormati dan mendapatkan tempat yang khusus. Hal itu terlihat dalam ketentuan Pasal 27, Pasal 28A - Pasal H dan Pasal J. Pengaturan tersebut menegaskan kedudukan rakyat dalam negara. Oleh karena itu sejak ketentuan tersebut ada, rakyat telah mengimpikan sekaligus mendambakan kehidupan yang layak sebagaimana hakikat kemanusiaan, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. 

Menurut Rachman Wiriosudarmo, pengelolaan sumber daya alam yang dikuasai oleh negara itu menjumpai masalah krusial bila dihadapkan dengan frasa "dipergunakan" sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tafsir terhadap frasa tersebut belum ada atau belum sempat ditafsirkan dari perspektif hukum. Oleh sebab itu, frasa tersebut harus diberikan penafsiran. Bila frasa "dipergunakan" diterjemahkan menjadi "diusahakan", maka dapat berimplikasi pada eksploitasi. Kecenderungan atas hal itu memberikan pemahaman bahwa sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat terwujud melalui eksploitasi sumber daya alam.[3] Hal itu berimplikasi pada pengelolaan sumber daya alam mengharuskan adanya pengusahaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun