Mohon tunggu...
Dimas Pangestu
Dimas Pangestu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menganalisis dan opini

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Opini Hukum Internasional

3 Mei 2024   18:36 Diperbarui: 3 Mei 2024   18:37 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber https://jejakpiknik.com

PENDEKATAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL  DALAM PENYELESAIAN SENGKETA  KONTRAK KOMERSIAL INTERNASIONAL  BERBAHASA  ASING

Artikel / Selasa, 18 Mei 2021 20:04 WIB / pepy nofriandi

Dwi Hananta (Hakim  Pengadilan  Negeri Surakarta Kelas  I A Khusus , Kandidat  Ph.D. pada  Sourthwest University of Political Science and Law)

Pembentukan  zona  perdagangan bebas  terus meningkat , hubungan  perdagangan lintas negara  makin  terbuka, mendesak kenaikan jalinan hukum transnasional dengan cara signifikan . guna menjembatani kepentingan para pihak, biar  memiliki  kesepahaman mengenai makna yang diperjanjika n, sehingga jalinan hukum yang diikat dengan perjanjian dalam konteks  lintas  batas  ditulis dalam teks bahasa yang diputuskan .

Di lain faktor , terdapat  kepentingan  nasional yang juga  harus mendapatkan  perlindungan , bahasa nasional merupakan  salah satunya. Bagi  sebuah  bangsa, bahasa bukan cukup sekedar  media  berbicara serta berhubungan, sebagaimana  disebutkan  dalam konsideran Undang-Undang RI No mor 24

Tahun 2009 tentang  Bendera, Bahasa, dan Lambang  Negara , dan juga Lagu Kebangsaan (berikutnya disebut  UU No . 24/2009), kalau bahasa bersama  dengan bendera, simbol  negara , serta lagu kebangsaan, adalah media  pemersatu, identitas , serta bentuk keberadaan  bangsa yang jadi lambang  kemerdekaan   serta  kemasyhuran  negeri.  Bahasa  serta  adalah  indikasi peradaban yang bersumber pada kisah perlawanan bangsa, kesatuan dalam kedamaian budaya , serta kesamaan  dalam menciptakan cita-cita bangsa dan  Negara .

Dalam Pasal  31 UU No . 24/2009 ditentukan  kalau "Bahasa Indonesia harus dipakai dalam laporan  kesepahaman  ataupun kesepakatan  yang menyertakan aturan  negara , institusi  negara Republik  Indonesia, aturan  swasta Indonesia atau  perseorang an penduduk negara  Indonesia. catatan kesepahaman  ataupun kesepakatan  yang menyertakan pihak asing ditulis serta dalam bahasa nasional pihak asing tersebut  dan /atau  bahasa Inggris."

berikutnya  dalam peraturan  pelaksana , Peraturan  Presiden  RI No mor 63 Tahun 2019 perihal  Penggunaan  Bahasa Indonesia (berikutnya diujarkan Perpres No . 63/2019) ditentukan  pula apabila , "Bahasa nasional pihak asing serta/atau  bahasa Inggris dipakai sebagai  padanan  ataupun makna Bahasa Indonesia buat mengibaratkan  penjelasan  catatan  kesepahaman  maupun  perjanjian  dengan pihak asing."

Pengaturan  mengenai peranan pemakaian  Bahasa Indonesia dalam catatan kesepahaman  maupun  kesepakatan  itu dalam sebagian  perkara dijadikan dasar hukum buat mengajukan gugatan  pembatalan kesepakatan, walaupun tetap saja pada masa ditandatanganinya kesepakatan  mereka menyadari dan  mengetahui kalau kesepakatan  yang mereka tandatangani tersebut   dalam bahasa asing tanpa ada teks kesepakatan  dalam Bahasa Indonesia.

Pengadilan  tingkat  pertama , tingkat  banding, bahkan  majelis  hakim  di pengadilan  Agung sekali juga  mempunyai  pandangan  dan  sikap yang berbeda - beda  akan  perihal  ini, akibatnya  vonis  yang  dijatuhkan juga  beragam.  Inti kontras  opini yaitu tentang  apakah peranan pemanfaatan Bahasa Indonesia dalam perjanjian  yaitu bersifat  imperatif sebab  diatur seperti itu  dalam undan g-undan g, atau kah berkarakter   voluntary gara-gara  tidak ditentukan  adanya  hukuman berlandaskan  pelanggaran kewajiban  tersebut .

Lebih lanjut, pada kelompok  pendapat  yang memberitahukan kalau aturan itu berkarakter patut  juga  ada  ketidaksependapat an dalam pemilihan akibat  hukum menurut  pelanggaran tersebut . jenis  opini  itu terlihat  dalam putusan -putusan  sebagai  berikut :

masalah  1: Nine AM Ltd. melawan PT Bangun Karya  Pratama  (BKPL)

Nine AM Ltd. dan  BKPL membuat  Loan Agreement yang kesepakatan nya cukup dibuat  dalam Bahasa Inggris, tanpa translasi dalam Bahasa Indonesia, dengan opsi  hukum yang disepakati  yaitu hukum Indonesia. Akta Jaminan  Fiducia yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dibuat  guna  menjamin kesepakatan  itu. semenjak Desember 2011, BKPL gagal  bayar , berhenti  melaksanakan  pembayaran utangnya.

sesudah  somasinya tidak memperoleh jawaban dari BKPL, Nine AM Ltd mengajukan gugatan  ke pengadilan  menuntut pembayaran pinjaman seterusnya  bunga. BKPL menanggapi petisi itu dengan mengajukan gugatan  pada Nine AM Ltd dengan syarat supaya  pengadilan  memberitahukan  Loan Agreement invalid  untuk  hukum akibat dibuat  dalam Bahasa Inggris tanpa padanan  ataupun terjemahan  dalam Bahasa Indonesia akibatnya melanggar UU No . 24/2009.

Pengadilan  Negeri Jakarta Bar at mengesahkan  gugatan  BKPL serta memberitahukan Loan Agreement tersebut  invalid  untuk  hukum seterusnya  Akta kesepakatan  Jaminan  Fiducia selaku kesepakatan  accessoir-nya, serta menyuruh  BKPL untuk  mengembalikan sisa uang  pinjamannya terhadap Nine AM Ltd..

pendapat  Pengadilan  Negeri Jakarta Barat yaitu karna  adanya  kata  "harus " pada Pasal  31 UU No . 24/2009 serta Perpres No . 63/2019 akibatnya pemakaian  Bahasa Indonesia dalam kesepakatan  bersifat  imperatif. Pengadilan  Negeri Jakarta Barat beranggapan  apabila  dengan tidak dipenuhinya peranan tersebut , hingga  Loan Agreement merupakan  perjanjian   karena  dibuat  dengan sebab  yang  vide Pasal  1335 KUHPerdata  jo. Pasal  1337 KUH Perdata .(Pengadilan  Negeri Jakarta Barat,   Putusan  No mor 451/Pdt.G/2012/PN Jkt Bar, hlm. 61)

Di tingkat  membanding  dan  kasas i, Pengadilan  Tinggi  Jakarta dan  Mahkamah  Agung menguatkan putusan Pengadilan  Negeri Jakarta Barat tersebut  serta mengelak permohonan banding  dan  kasasi dari Nine AM Ltd.  (Pengadilan  Tinggi  Jakarta, Putusan  No mor 48/PDT/2014/PT DKI serta Mahkamah  Agung Republik  Indonesia, Putusan  No mor 601 K/Pdt/2015),

Dalam Putusan  Kasasi, Hakim  Agung Sudrajad Dimyati, S.H., M.H., memberitahukan opini bertentangan  (dissenting opinion). Hakim  Agung Sudrajad Dimyati beranggapan  kalau judex facti keliru, sebab  causa yang tentang al ialah  gugatan  objektif  dari kesepakatan , yang pada hakikatnya yaitu isi maupun  materi  dari kesepakatan  itu sendiri tidak dapat berlawanan  dengan undan g- undan g, kesusilaan, dan  ketertiban umum . Jadi causa yang hal al bukan perihal formalitas  ataupun  sesuatu kesepakatan , melainkan materi/isinya.

Dalam pendapat  berbeda  itu serta memberitahukan kalau judex facti tidak mempertimbangkan  asas keadilan , akibat  Nine AM Ltd. tidak memperoleh  keuntungan  dari uang  yang dipinjamkan, sedangkan  BKPL memperoleh  untung  dari jasa  sewa  truk yang dikuasainya.

persoalan  2: Ford melawan Cheung

Pada 2008, Ford (warga  negara  Inggris) menikah dengan Cheung (warga  negara  Cina ). Sejak  2009 mereka tinggal  di Bali dan  sebagai  pemegang 100% am dari PT Alba menarik  (berbadan  hukum Indonesia).

Perkawinan mereka putus gara-gara  perceraian . Dalam metode  perceraian , kedua nya  untuk  membagi  harta bersama termasuk  pembagian  kekayaan perusahaan , sebagaimana  tertuang dalam Receivable and Liablity Agreement.

April 2019, Ford mentransfer  51% am tersebut  (senilai USD1.500.000) kepada  Cheung dengan pembayaran bertahap . Akta kesepakatan  pembagian  am tersebut   dalam Akta RUPS yang ditulis dalam Bahasa Inggris, tanpa terjemahan  dalam Bahasa Indonesia.

sesudah  perceraian , Ford berpendapat  jika  Cheung tidak mencukupi sebagian  isi kesepakatan , akibatnya Ford mengajukan gugatan  pada Cheung, menuntut supaya  Receivable and Liablity Agreement dinyatakan  invalid  akibat tidak mencukupi  ketentuan  UU No . 24/2009.

Pengadilan  Negeri Amlapura mengambil keputusan  jika  pelanggaran UU No .24/2009 tersebut  bukan  pelanggaran atas  syarat  sah rasional  kesepakatan  bersumber pada  Pasal  1320 Angka  4 KUHPerdata . Sepanjang konsep  dibuat nya kontrak bukan konsep  yang ilegal , tidak dilarang oleh peraturan perundan g- undangan  dan /atau  tidak didasarkan pada konsep  yang bertentangan  dengan kesusilaan serta ketertiban umum , sehingga kontrak yang tidak mencukupi gugatan  Pasal  31 UU No . 24/2009 merupakan  tetap  sah (vide Pasal  1336 KUHPerdata ). tidak hanya itu UU No. 24/2009 tidak mengatur  hukuman dengan pelanggaran Pasal  31, sehingga gugatan untuk  mengajukan pembatalan dengan kontrak pun mengharuskan pembukti an kalau pihak yang bertanggung jawab dapat  atau  sudah merugikan  dengan kontrak yang sedemi kian itu (vide Pasal  1341 Ayat  (3) KUHPerdata ) (Pengadilan  Negeri Amlapura, Putusan  Nomor 254/Pdt.G/2019/PN Amp).

persoalan 3: PT. Citra  Abadi  Kota Persada (CAKP) melawan MDS Investment Holding Ltd. (MDS) dan  PT ACR Global  Investments (ACR)

CAKP, semacam  perusahaan  Indonesia dan  MDS perusahaan  British Virgin Islands, mengesahkan  perjanjian  pembelian saham PT Perdana  Gapuraprima Tbk. (GPRA), semacam  perusahaan  publik  berbadan  hukum Indonesia.

kesepakatan  itu ditulis dalam Bahasa Inggris dengan opsi  hukum tunduk  pada hukum Indonesia. kesepakatan  tersebut  tidak dibuat  dalam  akta notaris, tapi sudah dilegalisasi  oleh pejabat  notaris.

Alih-alih melunasi pembayaran kedua, MDS mengajukan persyarat an baru : memohon posisi untuk  perwakilannya di pimpinan  manajemen perusahaan  penanaman modal dan  memohon relaksasi untuk  pembayaran kedua.

CAKP mengajukan gugatan  wanprestasi pada MDS, dan  Pengadilan  Negeri Jakarta Tim ur mengabulkannya dengan memberitahukan kalau kesepakatan  pembelian saham sah dan  mengikat, serta menyuruh kepada  CAKP untuk  melunasi sejumlah  kompensasi  (Pengadilan  Negeri Jakarta Timur, Putusan  Nomor 275/Pdt.G/2018/PN Jkt Tim).

Pengadilan  Tinggi  Jakarta mereviu putusan tersebut . Dengan mengambil teks lembaran Mahkamah  Agung (SEMA) RI No 7 Tahun 2012 mengenai kesimpulan  Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah  Agung selaku  Pedoman  penerapan kewajiban  untuk  Pengadilan , Pengadilan  Tinggi  Jakarta menyatakan  gugatan  penuntut tidak jelas atau  kabur  akibatnya tidak dapat  diterima  (Pengadilan  Tinggi  Jakarta, Putusan  Nomor 136/PDT/2020/PT DKI).

kesimpulan  Hasil Rapat Pleno Kamar yang dimaksud , berbunyi  "Sertifikat  dan  dokumen  asing selaku alat  bukti  harus  memenuhi  syarat-syarat legalisasi baik  di negeri asal serta di Indonesia, disamping itu serta patut diterjemahkan oleh seorang penafsir sah serta dkabar anginmpah di Republik Indonesia", akibatnya bagi Pengadilan  Tinggi  Jakarta, sebelum  mengajukan gugatan , CAKP harus  terlebih dahulu  menerjemahkan kesepakatan  itu dengan penafsir sah yang disu mpah.

Berbeda  dengan putusan-putusan dalam dua perkara  di atas , Pengadilan  Tinggi  Jakarta tidak memutuskan  apakah kesepakatan  yang dibuat  tanpa mengenakan Bahasa Indonesia batal demi hukum atau  senantiasa mempunyai otoritas mengikat. Pengadil an Tinggi  Jakarta cukup memberitahukan kalau teks kesepakatan  yang demikian  tidak mencukupi syarat untuk  dijadikan sebagai  bukti di pengadilan , sebelum  diterjemahkan oleh penafsir sah yang disumpah.

Titik Taut pokok  dalam permasalahan Pembatalan Perjanjian  Berbahasa  Asing

Putusan-putusan sebagaimana  tersebut  di atas  merujukkan  amarnya pada pertimbangan  hukum nasional dengan beberapa  pemahaman  bertentangan , sedangkan  dalam perkara -perkara  itu ada  bagi an penting  yang juga  harus dipertimbangkan , adalah terdapatnya Titik-titik Taut pokok .

Titik Taut pokok, adalah "Fakta-fakta di dalam sebuah  perkara atau  kejadian hukum, yang membuktikan  peristiwa  hukum itu memiliki faktor- faktor asing dan  akibat itu, peristiwa  hukum yang  merupakan  peristiwa  Hukum Perdata  Internasional  dan  bukan kejadian hukum intern/domestik semata" (Bayu Seto Hardjowahono, 2013: 86).

Titik Taut atau  Pertalian pokok  merupakan  faktor-faktor dan  keadaan - keadaan  yang menciptak an permasalahan Hukum Perdata  Internasional  (HPI). Faktor-faktor yang menimbulkan  isu HPI adalah: 1) kewarganegaraan , 2) domisili  (de jure) atau  tempat kediaman  (de facto), serta 3) tempat kedudukan badan  hukum (Ari Purwadi, 2016: 64).

faktor  asing dalam Nine AM Ltd. v. BPLK, adalah  tempat kedudukan penggugat  yang diantara di Texas, USA. Dalam Ford v. Cheung, unsur  asingnya adalah  kewarganegaraan  kedua belah  pihak, penggugat  berkewarganegara an Inggris serta tergugat berkewarganegara an cina  yang membuat  kesepakatan  terpaut badan  hukum Indonesia, sebaliknya dalam CAKP v. MDS, tergugat berbadan  hukum dan berkedudukan  di British Virgin Islands.

Dengan terdapat nya faktor-faktor asing yang memicu isu HPI dalam perkara-perkara pembatalan kesepakatan  berbahasa  asing tersebut  di atas , sehingga penanggulangan perkara-perkara tersebut  layak  mempertimbangkan  kaidah Hukum Perdata Internasional .

Kaidah  Hukum  Memaksa   (Mandatory  Rules)  dalam  Hukum  Perdata Internasional

Dalam Rancangan  Undang-Undang Hukum Perdata Internasional  (RUU HPI), Hukum Perdata Internasional  (HPI) dirumuskan sebagai  hukum nasional yang mengatur  peristiwa-peristiwa dan hubungan-hubungan hukum perdata  yang memiliki unsur asing (Badan  Pembinaan Hukum Nasional, 2014: Lampiran  hlm. 2). 

Cheshire, seperti mana dikutip  oleh Ari Purwadi juga  memberitahukan kalau "...Private International Law comes into operation whenever the court is faced with a claim that contains a foreign element." (Ari Purwadi, 2016: 2). penetapan mengenai hukum yang semestinya sah pada sesuatu perkara perdata  yang memiliki unsur asing merupakan  termasuk  salah satu permasalahan dalam HPI.

Para pihak dalam kontrak komersial  internasional  mempunyai kebebasan  berkontrak  ataupun  otonomi   kehendak   untuk   memastikan  kesepakatan   mereka,namun kebebasan  maupun  kedaulatan  itu tidak tak terbatas . seperti kontrak pada umumnya , kontrak komersial  internasional  serta tidak dapat melanggar kepatutan  dan kesusilaan dan juga sebaliknya dengan ketertiban umum . Kebebasan  dan otonomi  tersebut  serta dibatas i oleh kaidah hukum memaksa .

Kaidah hukum memaksa  ini diatur dalam hukum yang sah. seperti dikatakan oleh Lorenzo kalau salah satu peranan dari hukum yang sah pada sesuatu kontrak adalah  "Fungsi  Pembatas ", adalah mencegah  klausul dalam kontrak bertentangan  dengan kaidah hukum memaksa  (Sixto Sanchez Lorenzo, 2010: 67).

Dalam opini Adolf, kaidah hukum memaksa  yaitu prinsip yang terpenting . Keabsahan  dari tiap kesepakatan  yang dibuat oleh para pihak ditentukan  oleh hukum nasional. Hukum nasional yang wajib  ditaati disebut  selaku kaidah hukum memaksa  (mandatory or compulsory law). Para pihak tidak mempunyai wewenang buat mengesampingkan  hal  ini. (Huala Adolf,2020: 40).

Dengan digunakan nya kata  "wajib " dalam ketentuan  penggunaan  Bahasa Indonesia dalam kesepakatan  yang mengaitkan  entitas Indonesia, sehingga pengertian gramatikal mendefinisikan ketentuan  itu selaku syarat imperatif/memaksa . akan tetapi  untuk  melihat  apakah ketentuan  tersebut  merupakan  ketentuan  yang bersifat  kaidah hukum memaksa  yang didahulukan (overriding mandatory rules), masih  harus dikaji lebih lanjut.

Tidak semua  kaidah hukum yang memaksa  memiliki  kedudukan didahulukan, hal  mana jadi pandangan  umum  dalam beberapa  kesepakatan  internasional , salah satunya dalam Pasal  9 Rome I (The Regulation of EC No.

593/2008) yang menyatakan  kalau cukup peraturan yang menurut  negara  yang terlibat dinilai  penting buat melindungi kepentingan  publik, seperti  politik, sosial, dan ekonomi yang merupakan  overriding mandatory rules.

Prinsip Kontrak Komersial  Internasional  UNIDROIT 2016 menyebutkan , overriding mandatory rules mampu  diatur sendiri oleh sebuah  negara , bersumber  dari konvensi  internasional , kebiasaan  masyarakat  internasional , atau  diadopsi oleh organisasi  internasional . akan tetapi  apabila sesuatu ketentuan  tidak secara  eksplisit  diklasifikasikan sebagai  overriding mandatory rules, sehingga dibutuhkan  penafsiran  untuk  itu.

UU No. 24/2009 merupakan  pengaturan lebih lanjut dari Pasal  36 UUD Negara  RI Tahun 1945 yang memastikan kalau bahasa negara merupakan  Bahasa Indonesia, dan dengan melihat  konsideran UU No. 24/2009 seperti mana itu di atas , sehingga peranan penggunaan  Bahasa Indonesia dalam perjanjian  yaitu peraturan yang penting buat melindungi kepentingan  publik, yakni  dalam aspek sosial dan politik. guna itu syarat ini bisa diklasifikasikan sebagai  overriding mandatory rules.

Penerapan  Prinsip Overriding Mandatory Rules

Dalam Pasal  15 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian  Internasional  ditentukan  apabila , "sebuah perjanjian  internasional  mulai sah dan mengikat para pihak setelah  mencukupi syarat seperti mana ditujukan dalam perjanjian  itu."

Pada tanggal  2 September 2008, Indonesia mengesahkan statuta UNIDROIT dengan Peraturan Presiden  Nomor 59 Tahun 2008 mengenai Pengesahan Statuta Lembaga  Internasional  untuk  Unifikasi Hukum Perdata. Dengan pengesahan statuta tersebut , sehingga sebagai  negara anggota  Indonesia terikat pada prinsip-prinsip yang disepakati  oleh UNIDROIT, termasuk  Prinsip Kontrak Komersial  Internasional  UNIDROIT 2016.

Belum terdapatnya landasan  hukum operatif yang jadi dasar pelaksanaan prinsip-prinsip UNIDROIT dilihat  sebagai  hambatan  pemberlakuannya pada kasus  hukum konkret . Sebaliknya , penulis  beranggapan  dengan menggunakan  sistem  penafsiran  futuristik, RUU HPI bisa dijadikan dasar digunakan nya kaidah HPI dalam kasus  hukum konkret , seperti mana disebutkan  dalam Naskah  Akademik RUU HPI yang memberitahukan kalau "Untuk  mengatasi kekosongan  hukum, asas-asas umum  HPI dari konvensi-konvensi hukum internasional  khususnya  yang mengatur  HPI bisa digunakan  tentunya  sepanjang tidak bertentangan  dengan ketentuan  Undang- Undang  Dasar 1945  dan  dasar   Pancasila".  (Badan   Pembinaan  Hukum Nasional, 2014: 73).

Dalam Pasal  3.3.1 Prinsip Kontrak Komersial  Internasional  UNIDROIT 2016 dikatakan kalau apabila peraturan yang memuat kaidah hukum memaksa tidak secara  jelas menyertakan akibat  hukum dari pelanggaran peraturan tersebut , sehingga dalam hal  terjadi  pelanggaran, para pihak bisa mengajukan gugatan  buat penanggulangan kasus kontraknya apabila beralasan .

Alasan  tersebut  khususnya  yaitu: a) tujuan dari aturan yang dilanggar, b) kategori  pihak yang dilindungi dalam aturan tersebut , c) hukuman yang mungkin  dikenakan dalam pelanggaran semacam  itu, d) tingkat  keseriusan  dari pelanggaran, e) apakah salah satu ataupun kedua pihak menyadari atau  sepatutnya  memahami  pelanggaran itu, f) apakah penerapan  dari kontrak menjadi  pemicu  pelanggaran, g) harapan  yang lumrah  dari para pihak. (UNIDROIT Principles of International Commercial Contract: 2016).

Dalam kaitannya dengan perkara-perkara sebagaimana  tersebut  di atas , para penggugat  menuntut supaya  kontrak dibatalkan sebab  tidak menggunakan  Bahasa Indonesia, sehingga  untuk  mencari penanggulangan terbaik harus dipertimbangkan  alasan -alasan penerapan  prinsip overriding mandatory rules yang relevan.

Dari konsideran, tujuan diundangkannya UU No. 24/2009 yaitu untuk  menjaga kepentingan  nasional, rakyat  dan bangsa Indonesia dengan cara keseluruhan , bukan pribadi  atau  pihak , bukan pula dengan cara khusus  menjaga pihak berkewarganegaraan atau berbadan hukum Indonesia, sehingga  dalam ketentuan  ini, pihak asing dan entitas Indonesia mempunyai perlindungan  yang sama.

Tingkat  keseriusan  dari pelanggaran kewajiban  penggunaan  Bahasa Indonesia ini pada level  tertinggi  berpengaruh  pada dapat  dibatalkannya perjanjian . akan tetapi  dengan melihat  alasan lainnya  kalau kedua belah  pihak dalam perjanjian  tersebut  pastilah  menyadari kalau kontrak yang mereka tandatangani tidak menggunakan  Bahasa Indonesia, sehingga menjadi  tidak adil jika perjanjian tersebut  dibatalkan atas syarat salah satu pihak yang juga  turut  kontribusi dalam adanya  pelanggaran itu, kecuali  bisa dibuktikan terdapatnya cacat kehendak  di dalamnya.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, sehingga kategori  remedi yang serupa  dengan pelanggaran ini adalah  cukup  supaya  para pihak dihukum guna  memperbaiki/melengkapi kontrak mereka dengan menggunakan  Bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh penafsir sah yang tersumpah yang bisa diperintahkan untuk  dipilih  atas perjanjian  para pihak atau ditunjuk langsung oleh pengadilan .

Adanya  ketentuan  tentang  akibat  hukum dari pelanggaran ini akan memberikan perlindungan  bagi iklim  investasi  dan perdagangan internasional  di Indonesia. Disamping itu, dengan adanya  remedi berupa  perbaikan  kontrak,akan  melindungi   kontrak  tersebut   senantiasa   dapat   dilaksanakan  (enforceable) sehingga  tetap  memberikan kemanfaatan.

Bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris dalam kontrak tersebut  tetap  dapat digunakan  sebagai  padanan  atau makna dari naskah  kontrak dalam Bahasa Indonesia guna  menyamakan  penjelasan  atas kontrak dengan pihak asing, dan kemudian  kedua belah  pihak dapat pula diperintahkan untuk  menyepakati  bahasa mana yang dipakai dalam hal  terjadi  perbedaan  penafsiran .

Dalam perihal  terjadi  pokok  persengketaan  lain terkait  isi atau pelaksanaan  kontrak tersebut , hal itu merupakan  permasalahan  lain di luar kasus  overriding mandatory rules ini. Selanjutnya  dalam hal terjadi  perbedaan  pengertian kepada  padanan  atau makna kontrak,   sehingga  bahasa yang digunakan sebagai  referensi  dalam penyelesaian  sengketa  adalah  bahasa yang disepakati  dalam kontrak.
Nama    :Dimas Ade Putra P.
Studi     :03 HUKE 03/HUKUM
Tugas    :Opini Masalah Hukum Internasional

 Daftar Pustaka
Adolf, Huala. Hukum Transaksi Bisnis Transnational (Transnational Business
Transaction Law). Bandung: Keni Media, 2020.
Badan  Pembinaan  Hukum Nasional,  Kementerian  Hukum  dan  Hak  Asasi Manusia. Naskah Akademik RUU tentang Hukum Perdata Internasional. Jakarta, 2014.
Hardjowahono, Bayu Seto Hardjowahono. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional Buku Kesatu Edisi Kelima (the Basics of the Private International Law, the Book One, Fifth Edition). Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013.
Lorenzo, Sixto Sanchez. "Choice of Law and Overriding Mandatory Rules in International Contracts After Rome I," dalam Yearbook of Private International Law. Volume 12, Germany: European Law Publishers&Swiss Institute of Comparative Law, 2010.
Purwadi, Ari. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Surabaya: Pusat Pengkajian Hukum dan Pembangunan (PPHP) Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, 2016.
Indonesia. Undang-Undang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, UU No.24 Tahun 2009, LN No. 5035 Tahun 2009.
Indonesia. Peraturan Presiden tentang Pengesahan Statute of the International Institute for the Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata, Perpres No. 59 Tahun 2008.
Indonesia. Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, Perpres No. 63 Tahun 2019. LN No. 109 Tahun 2009, TLN No. 5035.
European Union. Regulation (EC) of the European Parliament and of the Council  on  the  Law  Applicable  to  Contractual  Obligations.  No.593/2008 of 17 June 2008 (Rome I), 2008.
International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT). Principles of International Commercial Contracts, 2016.
Mahkamah  Agung  Republik  Indonesia.  Putusan  No.  601  K/Pdt/2015,  31 Agustus 2015.
Pengadilan Tinggi Jakarta. Putusan No. 48/PDT/2014/PT DKI, 7 Mei 2014.
Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 136/PDT/2020/PT DKI, 17 April 2020.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Putusan No. 451/Pdt.G/2012/PN Jkt Bar.
Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Putusan No. 275/Pdt.G/2018/PN Jkt Tim.
Pengadilan Negeri Amlapura. Putusan No. 254/Pdt.G/2019/PN Amp.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun