Berlayar di Pelabuhan yang Salah
Kapal rindu terombang-ambing di samudra keliru,
Layar terkembang, namun angin menghembus jauh dari arah pulang.
Di pelabuhan ini, dermaga hanyalah bayang-bayang kesalahan,
Tiang jangkar melingkar, mengikat hati yang sempat bebas.
Ombak adalah bisik-bisik waktu,
Menceritakan dosa langkah yang salah menepi.
Takdir bagai mercusuar yang redup,
Cahayanya tak lagi menuntun, hanya menyesatkan.
Di pelabuhan ini, matahari terbenam dengan luka,
Langitnya merah, bukan jingga;
Seperti hati yang direndam darah kata-kata.
Awan berarak membawa dendam yang tak terselesaikan.
Aku adalah nahkoda tanpa peta,
Mengandalkan bintang yang berkhianat pada malam.
Kompas dalam genggaman retak,
Menunjuk ke utara yang tak pernah ada.
Angin berbicara dalam bahasa yang tak kupahami,
Membawa janji-janji masa lalu yang tenggelam,
Dan debur ombak menyeret kenangan ke dasar,
Di mana aku tak lagi mampu menyelam.
Pelabuhan ini adalah pangkuan kesedihan,
Berisi kapal-kapal yang karam tanpa sempat berlayar jauh.
Tiang-tiangnya adalah doa-doa patah,
Tali-talinya simpul dari ketakutan.
Namun, di sudut gelap dermaga,
Seekor camar berteriak, membawa tanda,
Bahwa setiap pelabuhan yang salah adalah pelajaran,
Dan laut yang biru tetap setia menunggu.
Aku harus mengangkat jangkar dari luka ini,
Melipat layar yang basah oleh air mata,
Mengikuti angin yang mengajakku berdamai,
Dengan samudra yang luas dan tanpa batas.
Karena pelabuhan yang salah hanyalah persinggahan,
Bukan akhir dari perjalanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H