Semalam Tuti usul agar mertuanya dipindahkan ke panti jompo yang terletak di kabupaten. Meski Tuti mengatakan pelayanan di sana bagus, bangunannya tak kalah dari rumah mereka, dan suasananya begitu asri penuh rindang pohonan cemara.Â
Tetapi tidak mengubah pendirian Djoko. "Itu sama saja dengan orang tua yang menitipkan anak ke panti asuhan dengan alasan tidak punya waktu untuk mengasuhnya sendiri." Tapi pikiran itu hanya sampai ujung lidah Djoko setelah itu ditelan lagi.Â
Setelah lama beradu pendapat, Djoko mulai hilang kesabaran. Hingga keluar perkataan bahwa Tuti tidak merasakan bagaimana jadi dirinya, karena Tuti telah yatim piatu jauh sebelum mereka menikah.Â
Persis setelah itu, Tuti marah dan masuk kamar, lalu ada sayup suara isyarat untuk Djoko agar tidur di sofa depan TV. Terdengarlah oleh Djoko suara pintu dikunci. Ia paham isyarat itu, lalu dengan terhuyung ia berjalan dari dapur ke ruang keluarga.Â
Ia lihat bapaknya sedang duduk menopang dagu dengan tangan kanan, seperti sedang memikirkan hal berat. Djoko menghampirinya lalu memulai pembicaraan.Â
"Mikir apa pak??."
"Kau tak akan paham Djok."
"Oh tenang pak saya habis baca bukunya Noam Chomsky."
"Bagus, tadi pagi bapak baca koran, ternyata sebentar lagi pemilu Amerika, dan setelah menghitung kemungkinan, bapak menyimpulkan Trump akan menang lagi. Seperti kemarin lawan Hillary Clinton."
"Celaka, koran kapan yang bapak baca, padahal jelas sekarang Joe Biden adalah presiden Amerika." Djoko bergumam dalam hati
"Bagaimana menurutmu jok??." Pandangan penuh harap menghunjam mata Djoko.
"Berarti kita berseberangan pak, kali ini Trump akan kalah dengan Biden. Bagaimana kalau kita taruhan, yang kalah harus mijetin yang menang semalaman, setuju pak??."
"Oke setuju."Â
Setelah itu Djoko tak memperhatikan lagi omongan bapaknya, padahal jelas pendukung Trump ini sedang memaparkan analisis mendalam mengenai kemungkinan yang akan terjadi. Djoko hanya iya iya saja menanggapi argumen simpatisan Trump itu. Kini Djoko merasa bersalah telah menipu bapaknya. Ia berencana untuk segera memberikan koran terbaru, besok setelah urusannya dengan Tuti beres.
Sudah lewat jam dua belas, Djoko duduk melepaskan pandang ke TV yang mati, bapaknya telah masuk kamar setelah menjelaskan dinamika politik yang sekarang telah menjadi barang basi. Pikiran Djoko dilepas entah kemana, benaknya bagai pohon dilanda topan, ia benci pada mulutnya juga pada istrinya.Â
"Mungkin Tuti bermaksud baik karena bapak terlihat begitu kesepian, hanya melamun dan membual. Tapi mengapa harus panti jompo solusinya??. Bapak tak pernah mengeluh soal itu, cek kesehatan rutin juga bagus hanya darahnya agak tinggi. Bapak juga tidak merepotkan siapa-siapa, semua kegiatan ia lakukan sendiri jadi apa masalahnya??.Â
Tapi bagaimana jiwanya??. Ah bagaimanapun bapak harus tetap di sini. Durhaka dan hina kalau sampai anak menelantarkan bapaknya." Kebimbangan menguasai Djoko, kegelisahan mengusik tidurnya.
********************
Dalam kamar yang gelap Tuti menangis, hatinya teriris mendengar perkataan Djoko tadi. Ia kecewa karena dibilang tidak tahu rasanya merawat orang tua, sampai-sampai membawa status yatim-piatunya. Padahal disamping bekerja, Tuti juga masih mengerjakan tugasnya sebagai ibu.Â
Ketika sampai kata itu, ia seperti ditikam sembilu, ibu ibu ibuu. Ia belum memiliki anak selama empat tahun pernikahannya dengan Djoko. Makin basah bantal Tuti, kesedihan telah sempurna menguasai kesadarannya. Malam tambah sunyi di luar.Â
Ranting terdengar memukul jendela, dipukul angin terpendam, udara begitu dingin, terciptalah suasana mencekam dalam kamar Tuti. Kata ibu terus mengganggunya. Tuti mencoba menutup telinganya dengan bantal, menarik selimut menutup seluruh tubuhnya, berguling kanan kiri, walau ia tahu semua itu percuma, tapi lebih baik daripada diam dan mengingat kata itu lagi.Â
Tuti terus berguling agar tubuhnya lelah dan tertidur pulas, entah sampai berapa lama hingga akhirnya ia dapat tidur.Â
Tapi sebelum kesadaran terbang dari tubuh Tuti, selintas terbayang Djoko minta maaf padanya dan menciumnya dengan mesra. Tapi hanya selintas, setelah itu gelap, ia hanyut dalam lelap, dan mimpi membawa Tuti bertemu dengan kedua orang tuanya.
************************
Pagi yang cerah, burung-burung bernyanyi riang, ayam berangkat cari makan, dan ibu-ibu tetangga sedang ngerumpi sambil beli sayur.Â
Djoko duduk di kursi beranda menikmati rokok dan kopi, peristiwa semalam masih membekas, mengganggu pikirannya. Rokok ia nyalakan, satu isapan dalam kemudian embusan panjang, setelahnya seteguk kopi kapal api. Pikirannya kini agak tenang, tapi masih bimbang.Â
Djoko merasa keterlaluan dengan ucapannya semalam, tapi Tuti sendiri yang memantik ucapan itu, ahh. Ia mengisap rokok lebih dalam, meneguk kopi lebih banyak. Pikirannya terus berkecamuk, perkataan Tuti ditimbang benar salahnya, Djoko mencoba mencari penyelesaian yang tepat atas kejadian semalam.Â
Sementara itu di ruang tengah Tuti membolak-balik halaman bukunya sambil selonjoran di sofa. Setiap kata pada lembar buku ia gumamkan, tapi kepalanya enggan menerima, hanya pertengkarannya dengan Djoko semalam yang terbayang, ditambah kata yang setengah mati ingin ia lupakan.Â
Tuti menutup buku dalam genggaman, lalu berjalan menuju rak kecil mengambil beberapa buku, membolak-balik, dan menutupnya kembali.Â
Pikirannya kacau, Tuti tidak mempunyai maksud ingin menelantarkan mertuanya. Ia hanya ingin agar jiwa mertuanya tidak menjadi bulan-bulanan kesepian masa tua. Ibu mertua Tuti telah meninggal empat tahun lalu, Djoko dan Tuti hanya sehari libur, ditambah cuma Djoko anak satu-satunya. Tuti berjalan mengelilingi sofa, entah berapa kali hingga akhirnya memutuskan untuk keluar menyapa Djoko.Â
Ia baru ingat hari ini adalah hari jadi pernikahannya dengan Djoko yang ke-lima. Dengan gontai Tuti melangkahkan kaki ke beranda, ia hafal betul kebiasaan minggu pagi suaminya.
*******************
"Jok" tiba-tiba suara lembut menyapa. Bagai angin yang membelai bukit ketika pagi, dan angin sore yang menggerakkan gugusan mega yang jingga. Djoko sedikit terperanjat mendengar suara Tuti, tapi tetap melanjutkan upacara minggu paginya, menghisap rokok dan menyeruput kopi.Â
Suasana hening sesaat, lalu Tuti berjalan mendekati Djoko dan duduk di pangkuannya. Mereka membangun suasana sunyi agar jiwa mereka bisa bercumbu dengan mesra. Momen ini sudah biasa bagi keduanya, berbaikan tanpa sepatah kata pun terucap.Â
Begitu lama mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga akhirnya Tuti berkata: "Selamat hari pernikahan ke-lima Djok. Huh, lima tahun belum gendut ini perut." Tuti berkata sambil menepuk-nepuk perut. Mendengar perkataan itu Djoko memeluknya erat, dan menumpahkan air mata hingga membasahi pudak Tuti.Â
Mereka menghiasi pagi dengan nestapa. Tapi ada suatu ironi yang belum mereka sadari.
Ayah Djoko berbaring di ranjang begitu pulas, raut wajahnya tenang, badannya lemas, dadanya berhenti mengombak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H