"Bagaimana menurutmu jok??." Pandangan penuh harap menghunjam mata Djoko.
"Berarti kita berseberangan pak, kali ini Trump akan kalah dengan Biden. Bagaimana kalau kita taruhan, yang kalah harus mijetin yang menang semalaman, setuju pak??."
"Oke setuju."Â
Setelah itu Djoko tak memperhatikan lagi omongan bapaknya, padahal jelas pendukung Trump ini sedang memaparkan analisis mendalam mengenai kemungkinan yang akan terjadi. Djoko hanya iya iya saja menanggapi argumen simpatisan Trump itu. Kini Djoko merasa bersalah telah menipu bapaknya. Ia berencana untuk segera memberikan koran terbaru, besok setelah urusannya dengan Tuti beres.
Sudah lewat jam dua belas, Djoko duduk melepaskan pandang ke TV yang mati, bapaknya telah masuk kamar setelah menjelaskan dinamika politik yang sekarang telah menjadi barang basi. Pikiran Djoko dilepas entah kemana, benaknya bagai pohon dilanda topan, ia benci pada mulutnya juga pada istrinya.Â
"Mungkin Tuti bermaksud baik karena bapak terlihat begitu kesepian, hanya melamun dan membual. Tapi mengapa harus panti jompo solusinya??. Bapak tak pernah mengeluh soal itu, cek kesehatan rutin juga bagus hanya darahnya agak tinggi. Bapak juga tidak merepotkan siapa-siapa, semua kegiatan ia lakukan sendiri jadi apa masalahnya??.Â
Tapi bagaimana jiwanya??. Ah bagaimanapun bapak harus tetap di sini. Durhaka dan hina kalau sampai anak menelantarkan bapaknya." Kebimbangan menguasai Djoko, kegelisahan mengusik tidurnya.
********************
Dalam kamar yang gelap Tuti menangis, hatinya teriris mendengar perkataan Djoko tadi. Ia kecewa karena dibilang tidak tahu rasanya merawat orang tua, sampai-sampai membawa status yatim-piatunya. Padahal disamping bekerja, Tuti juga masih mengerjakan tugasnya sebagai ibu.Â
Ketika sampai kata itu, ia seperti ditikam sembilu, ibu ibu ibuu. Ia belum memiliki anak selama empat tahun pernikahannya dengan Djoko. Makin basah bantal Tuti, kesedihan telah sempurna menguasai kesadarannya. Malam tambah sunyi di luar.Â
Ranting terdengar memukul jendela, dipukul angin terpendam, udara begitu dingin, terciptalah suasana mencekam dalam kamar Tuti. Kata ibu terus mengganggunya. Tuti mencoba menutup telinganya dengan bantal, menarik selimut menutup seluruh tubuhnya, berguling kanan kiri, walau ia tahu semua itu percuma, tapi lebih baik daripada diam dan mengingat kata itu lagi.Â