Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Kasus Viral Agus Vs Novi yang Melelahkan, Ini Cara Menyikapinya

3 Desember 2024   08:08 Diperbarui: 3 Desember 2024   08:56 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar Youtube Curhat Bang - Denny Sumargo

Bukannya ingin Fomo (Fear of Missing Out) atas kasus viral Agus Vs Novi yang benar-benar melelahkan, namun rasanya kita harus coba memahami mengapa hal itu bisa terjadi.

Kekisruhan kasus viral Agus Vs Novi yang berawal dari saling "serang" di media sosial hingga akhirnya menjadi isu nasional, rasanya perlu disikapi oleh banyak pihak agar hal seperti ini tidak terus menerus terjadi.

Ketika saya pertama kali bersosial media di tahun 2008, apa yang terjadi sekarang ini adalah di luar ekspektasi sama sekali.

Saat itu saya menganggap media sosial bisa menjadi wadah serta sarana banyak orang untuk berinteraksi secara positif di dunia maya.

Namun di dalam perkembangannya saat ini, media sosial seperti telah kehilangan makna positifnya karena peristiwa-peristiwa yang sebenarnya remeh tapi berkembang terus menjadi besar dengan tidak terkendali.

Media sosial kini telah berubah fungsi, seolah telah menjadi rujukan akhir dan utama dari siapapun yang membutuhkan informasi terbaru.

Kecepatan dan kemudahan akses dari media sosial serta adanya kemudahan "meliput" peristiwa hanya dengan ponsel masing-masing, menciptakan citizen journalism yang telah salah kaprah.

Para jurnalis meliput berita dan kemudian menyampaikannya adalah sesuai dengan ranah pekerjaan serta pengetahuannya sehingga tentu akan menjadi berbeda ketika siapapun hanya karena memiliki ponsel dan melihat peristiwa, dapat dengan serta merta menyiarkannya.

Jika merunut dari awal kasus Agus Vs Novi ini adalah akibat dari penayangan siniar atau podcast Curhat Bang milik Youtuber Denny Sumargo (Densu) berikut ini, yang ditayangkan 2 bulan lalu dengan disaksikan oleh 5,6juta penpnton dan 31.297 komentar.

Kebetulan saya pun menyaksikan tayangan tersebut dan tentu sangat bersimpati atas apa yang menimpa Agus, bahkan sama sekali tak menduga akan jadi begini karena setelah itu saya tak terlalu mengikuti perkembangannya.

Namun, beberapa hari kemudian (seingat saya) segala niat baik yang ada di podcast tersebut mendadak berubah menjadi liar hingga kini, bahkan kecenderungannya, hujatan kepada Agus kian banyak.

Tanpa bertujuan membela siapapun, karena jika kita menggunakan nurani serta logika yang lurus, rasanya semua akan paham dimana letak awal kekisruhan ini berkembang!

Saya ingin menyoroti bukan dari kasus viralnya, tapi lebih kepada efek keviralan yang mungkin tidak terpikirkan oleh siapapun. Andai terpikirkan pun, biasanya hanya berada di dalam diskusi-diskusi kecil di ruang publik.

Di media sosial, miris sekali ketika melihat video-video parodi tentang segala hal dari Agus, dengan ikon berkaca-mata dan mata yang ditutupi perban putih.

Mungkin niatnya bercanda, tapi benarkah? Apa justru pada akhirnya ini menjadi sebuah cyber bullying?

Dilansir dari detikHealth, psikolog dari klinik Personal Growth, Veronica Adesla, menyebut ada batas yang jelas antara bullying dengan bercanda. 

Jika yang dimaksud adalah bercanda sesama teman, maka semua pihak harus sama-sama merasa senang dan menikmati tanpa ada yang merasa tersakiti.

Sementara bullying atau perundungan terlihat jelas karena ada dua pihak yakni pelaku dan korban. Dalam konteks bullying, pelaku adalah pihak yang merasa lebih kuat dan korban adalah pihak yang dianggap lemah.

"Disebut bullying ketika salah satu pihak yang diajak berinteraksi merasa tersakiti, baik fisik maupun perasaan (psikologis)," ungkap Veronica.

Jika kita melihat fenomena viralnya video "Agus sedih banget" dengan menggunakan nurani, maka sepertinya kita akan sepakat itu mengarah pada tindak perundungan secara daring.

Dikutip dari artikel di cnnindonesia.com, Anna Maria Chavez, seorang inspirational speaker dan community leader mengatakan, "Cyber bullies dapat bersembunyi di balik topeng dengan anonimitas online, dan tidak memerlukan akses fisik secara langsung kepada korban-korbannya untuk melakukan kejahatan yang tidak terbayangkan."

Perspektif dan cara memandang seseorang juga berpengaruh dalam membentuk kebiasaan suka memberikan komentar jahat.

Selebritis, public figure, politisi, dan orang-orang yang sering menjadi objek sorotan media cenderung dipandang sebagai objek dan bukan subjek. 

Maksudnya, masyarakat jadi menyamakan orang tersebut dengan barang yang dengan mudahnya dinilai dan dihakimi.

"Sampai beberapa kasus ia (korban) berhenti dari sekolah, pindah sekolah, murung, tidak mau makan, anoreksia, bunuh diri, dan trauma yang dalam sehingga ia takut membuka pertemanan, sekaligus membuat dia menjadi introvert," paparnya.

Sementara itu, dalam jangka panjang, korban dapat menderita gangguan jiwa seperti bipolar, beberapa artis bahkan telah terkonfirmasi menjadi pengidap bipolar ini. 

Bipolar adalah kondisi di mana pada satu waktu emosi seseorang dapat menjadi sangat bagus dan senang, namun sesaat kemudian emosinya drop sekali, menjadi murung, sedih, atau marah. 

Selain bipolar, korban dapat menderita psikosomatis (penyakit fisik yang disebabkan oleh pikiran sendiri), penyakit psikis, dan ketidakteraturan emosi.

Melihat dampak yang ditimbulkan maka rasanya kita harus lebih bijak di dalam menyikapinya, ada dua cara untuk itu:

1.  Berpikirlah sebelum berkomentar

2. Pertimbangkan dampak serta risiko yang akan terjadi setelahnya

Kata-kata yang jahat dapat berpengaruh sangat luas dalam kehidupan seseorang. Bukan hanya psikis orang yang bersangkutan yang tertekan, namun keluarga dan orang-orang yang menyayanginya pun akan terluka oleh komentar jahat itu. 

Masih ingat kasus di mana ayah seorang gadis yang mengaku menjadi anak Jenderal Polisi meninggal karena tidak tahan membaca komentar-komentar jahat netizen terhadap putrinya? 

Selain itu banyak kasus-kasus bunuh diri karena tidak tahan di-bully di media sosial. Kasus-kasus ini seharusnya sudah bisa menjadi pembelajaran bagi netizen bahwa perkataan, meskipun tertulis, dapat membunuh.

Inilah kelemahan kita sebagai manusia. Terkadang egois dan tidak memikirkan dampak perbuatan kita terhadap orang lain. Lebih lagi, jika kita tidak mengenal orang tersebut secara langsung, dan dia juga tidak tahu siapa kita. 

Akibatnya, kita jadi lebih mudah untuk mengejek, atau bersikap jahat terhadap dia di media sosial. Kita jadi lupa bahwa orang tersebut juga manusia, yang punya perasaan dan kehidupan. 

Kadang kita lupa untuk menebarkan bibit-bibit kebaikan di dunia ini dan kita malah menyebarkan hal-hal yang berdampak buruk bagi orang lain.

Jadi saran saya, bijaklah dalam menyikapi riuhnya kasus Agus Vs Novi ini, jangan sampai kita terjebak dan memiliki pikiran buruk yang kemudian dikaitkan kemana-mana.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun