Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Man Rabbuka

19 September 2024   13:46 Diperbarui: 19 September 2024   14:06 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya..." 

Sepenggalan syair lagu anak di era 80an atau 90an berjudul Sayonara itu tiba-tiba membahana dan begitu bising di pikiranku, entah apa yang membuatku teringat.

Hmmm...tapi sepertinya itu adalah rentetan dari perkataan temanku, Yodi, saat ia mengiba dengan penuh belas kasihan kepadaku untuk meminjam uang yang bagiku tak terlalu besar. Ya, lima ratus ribu rupiah, buatku uang segitu hanya untuk sekali makan di restoran atau kafe berkelas "biasa-biasa saja" dan tentunya akan menjadi lebih murah lagi jika dibandingkan dengan di tempat yang "high class".

Tapi ini bukan perkara jumlah nominal uangnya, karena sekali lagi itu bukanlah masalah, melainkan karena ucapan Yodi yang kemudian menggiringku pada syair lagu itu.

"Elo sih enak Amanda. Dari gue kenal elo sampai sekarang, hidup lo nggak pernah susah. Putri Sultan sejati, putri bandel yang senang main sama anak kampung kayak gue," ucapnya sedikit gembira setelah mendapat kepastian dariku mengenai pemberian uang kepadanya.

Ya, aku tidak ingin meminjaminya, tapi memberikannya. Lagian buat apa juga susah-susah memikirkan cara menagihnya ketika kita sudah tau orang yang meminjam sedang benar-benar susah dan membutuhkan, apalagi Yodi adalah kawannya semasa kecil dulu.

Sekelebatan memori di masa lalu menghampiri benak Amanda saat ia baru datang ke kawasan Jakarta Selatan, dipinggiran, dan rumah mewah ayahnya berdempetan dengan pagar tembok pembatas kampung dari orang-orang Betawi. Setidaknya begitulah Mbah Sirah menyebutkan pada kami, kalangan dari etnis mana yang mayoritas berada di kampung tersebut.

Dan memang benar apa yang Yodi katakan, aku ini putri bandel yang selalu ngerjain Mbah Sirah dan para asisten rumah tangga serta mereka yang bekerja untuk papa mama.

Sampai akhirnya ada kesepakatan di antara kami, karena lelahnya mereka dan atas izin Papa, bahwa aku diperbolehkan main bersama anak-anak kampung. Bahkan sekolahku akhirnya dipindahkan ke sekolah negeri karena aku terus merengek ke Papa agar lebih dekat dengan anak-anak kampung, termasuk Yodi.

Mama sering sewot ketika mereka aku ajak main ke rumah dan bebas berenang di kolam renang kami. Sampai detik ini, aku masih ingat ekspresi wajah girang mereka, wajah-wajah lugu nan gembira yang tak akan terlupakan.

Maka ketika aku bertemu Yodi tanpa sengaja melalui media sosial beberapa tahun lalu dan kini kami bertemu di kafe atas permintaannya, aku pun setuju. Kami bernostalgia meski ujung-ujungnya Yodi meminjam uangku, aku tak peduli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun