Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tragedi Telek

17 September 2024   14:13 Diperbarui: 17 September 2024   14:18 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Anil Sharma: https://www.pexels.com/photo/selective-focus-photograph-of-a-black-rooster-10606572/ 

"Lek!"

Gara-gara teriakan cempreng itu, seketika kaki kiri Kardi menginjak kotoran ayam yang dengan manisnya berada di pinggir jalan dan tepat berada di jalur langkah kakinya.

Perasaan paling merasa benar dan menyalahkan si kotoran harus menjadi prioritas utamanya, demi menghilangkan rasa malu serta kesal. Tokh, dia hanya kotoran  yang tak akan mungkin bisa melawan apalagi mendebatnya.

"Lak lek lak le wae...Ndasmu mambu!" maki Kardi dongkol di dalam hatinya.

Dengan wajah menahan kesal, Kardi menoleh ke arah datangnya suara, keponakan yang biasa dipanggilnya Ucrit tampak memanggil.

"Opo to Crit?" ucapnya masih dongkol.

"Jangan lupa pesan Mama," Si Ucrit menjawab dengan teriakan santai dari kejauhan.

"Iya. Aku memang sudah tua, tapi nggak pikun!" umpatnya kesal.

"Ingat, darah tinggimu, Lek. Jangan misuh-misuh gitu ah. Masih pagi," ledek Ucrit.

Dan setelah berkata begitu, dengan cueknya, Ucrit masuk ke gang rumahnya tanpa merasa berdosa dan tak mau peduli dengan nasib Pamannya yang menderita akibat menginjak kotoran ayam di pagi hari.

Dengan bersungut-sungut, Kardi berjalan ke pinggir, mencari sesuatu untuk membersihkan kotoran ayam yang melekat di sandal jepit dan sedikit mengenai telapak kakinya.

Sambil menggerutu tak jelas, dan ribuan kata di benaknya lebih ramai lagi berkecamuk, ia membersihkan kotoran ayam itu sekenanya. Kardi melepas sandalnya dan membersihkan kotoran yang melekat itu pada pinggiran selokan kering.

Begitupun dengan yang menempel di kaki kirinya, karena ia tak menemukan air di sekitar situ, ia menginjak tanah dan hanya menggesek-gesekannya saja, kemudian melakukan hal yang sama dengan membersihkannya di pinggiran selokan.

"Dasar telek pitik..." umpatnya kesal.

Kemudian Kardi kembali berjalan sambil masih terus merasa tak nyaman bukan saja karena urusan telek pitik itu. Pikirannya kacau karena urusan rumah tangganya.

Kardi stres memikirkan uang sewa bulanan rumah kontrakannya, uang jajan anak-anaknya dan biaya lain di kehidupannya yang secara tiba-tiba seperti tingkah anak kecil merajuk serta memaksa minta diperhatikan.

Bohlam lampu tiba-tiba putus, rice cooker mendadak rusak, kipas angin ikutan mati, token listrik pun sudah mengeluarkan bunyi yang baginya terdengar bagaikan teriakan toa masjid di depan telinganya.

"Kere kok ya borongan gini sih!" makinya di dalam hati sambil terus berjalan.

Ia tak peduli saat melewati orang-orang yang sedang asyik bermain burung merpati, dan menerbangkannya. Mereka seakan ingin menguji kesetiaan pasangan merpati, seperti ingin membuktikan apakah benar ungkapan "merpati tak pernah ingkar janji".

Dadanya masih terasa panas dan pikirannya terus saja berkecamuk mencari alternatif pendapatan singkat setelah sebelumnya ia gagal mendapatkan uang pinjaman di rumah kakaknya, ibu si Ucrit.

Pinjaman tak dapat, malah disuruh belanja ke pasar hanya karena ia sempat bilang mau berjalan ke arah pasar kaget.

"Crot!"

Tiba-tiba kepalanya terasa dingin sesaat kemudian mendadak hangat, ada sesuatu yang lembek, agak berair tapi kental seperti es krim. Plus bau menyengat!

"Ndas Kirik..telek lagi!" Kardi spontan memaki.

Ia memandang ke langit mencari burung merpati mana yang sudah menganggap dirinya jamban berjalan. Dan tiba-tiba..

"Crot!"

Serangan kedua, telek burung mampir di pipinya. Seketika ia merasa hidup di zaman penjajahan saat agresi militer Belanda menyerang lapangan terbang Maguwo.

Kardi seketika melihat burung-burung itu layaknya pasukan Belanda yang terbang dengan pesawat tempur memborbardir kota Yogyakarta.

Orang-orang di sekitarnya ada yang tertawa dengan spontan, tapi ada pula yang meminta maaf, terutama setelah diketahuinya bahwa ternyata itu adalah burung merpati miliknya.

"Maaf, mas. Sini ke rumah saya, keramas dulu. Maaf atas kelakuan burung saya tadi," ungkap si pemilik burung tidak enak.

"Minta samponya saja. Saya keramas dan raup di luar saja," ucap Kardi menahan diri untuk marah.

Kardi melihat ada keran di depan rumah dan seketika si pemilik burung masuk ke rumahnya mengambil sampo, sabun dan handuk.

Tak lama ia keluar dan Kardi tanpa basa-basi segera mencuci rambutnya dengan membiarkan kaos di bagian lehernya basah terkena kucuran air. Ia pun mengusap wajahnya dengan sabun, sambil menahan muntah karena bau tak sedap dari kotoran burung itu.

Si pemilik burung dan beberapa temannya merasa serba salah, merasa tak enak, tapi terus terang kejadian yang dilihatnya saat Kardi terkena bom telek itu memang lucu sungguhan.

"Makasih," Kardi berterima kasih dan menyerahkan semua benda yang diterimanya.

Si pemilik burung masih merasa kurang enak dan terus meminta maaf, menambah kacau pikiran Kardi.

"Minta maaf aja emang enak, kasih duit kek!"gerutunya di dalam hati.

Dan Kardi melanjutkan perjalanannya ke pasar. Ia sebenarnya ingin berjumpa dengan kawannya yang jadi preman pasar.

Sesampainya di pasar, ia celingukan mencari Harjo, si preman pasar, kawannya yang pernah ditolong saat hampir dihakimi massa gara-gara kepergok ingin mencuri kabel instalasi listrik  aula pertemuan warga.

"Bro, Harjo dimana ya?"tanyanya kepada seorang preman muda bertato.

"Wah, Mas Harjo Mati kemarin, Mas," tuturnya.

"Telek. Bener-bener telek. Enak betul ngomongnya seolah Harjo ini kucing," makinya di dalam hati.

"Mas belum tau toh?" tanya si pemuda preman.

"Belum. Meninggalnya karena apa?" tanya Kardi penasaran.

"Kepergok nyolong motor di RW satu. Di gebukin, diinjak-injak, untung saja nggak dibakar. Sudah keburu mati. Ya, namanya sudah berumur, dikagetin aja mati, sebenarnya juga nggak usah pake dipukulin," Si Pemuda preman bercerita dengan ringan.

"Oh gitu. Apes ya," Kardi terenyuh dan agak sedih mendengar kisah itu.

"Sudah mas, nggak usah dipikirin. Sekarang nggak ada lagi yang sok jagoan nguasain parkiran di sini. Kita bebas nggak usah setoran dengan bagi hasil yang nyekek," Si pemuda Preman berkata dengan penuh rasa syukur.

Kardi benar-benar kehilangan selera, meski sebenarnya ia bisa saja meminta sedikit jatah lahan parkir untuk sekadarnya mendapatkan pendapatan.

"Ada apa ya, Mas? Kok nyari Mas Harjo?" tanya si pemuda preman penasaran.

"Ah nggak. Ya sudah. Makasih ya infonya."

"Kalo mau nagih utang ke rumahnya aja, Mas. Tapi siap-siap nggak di bayar karena istrinya pasti bingung,  matinya Mas Harjo bukannya ninggalin warisan, tapi malah ngasih masalah."

Kardi seketika merasa tertampar dengan omongan si pemuda preman itu. Ia langsung teringat istri dan anak-anaknya di rumah.

Kejadian Harjo itu memang bikin miris, tapi kehidupannya harus terus berjalan dan jangan sampai berakhir serupa dengan kejadian si Harjo yang apes dan mati konyol karena mencuri.

Saking pusingnya, Kardi malah tidak jadi masuk pasar, ia berjalan saja mengikuti langkah kakinya mencari cara supaya permasalahan finansial keluarganya dapat teratasi.

Tiba-tiba ia mendengar suara orang ramai berteriak ke arahnya, "Maling! Maling! Jambreett!!!"

Kardi kaget dan menoleh, si pemuda preman berlari kencang melewatinya dan tanpa sengaja menyenggol tubuh Kardi dengan keras hingga terjerembab. Dan...

"Plok!"

Seonggok telek sapi menjadi landasan wajah Kardi yang terjerembab. Apes yang komplit!

Ia ingin marah, namun seketika ia merasa mending kena telek daripada hidupnya setelek para preman pasar tersebut. Dalam lintasan pikiran yang berkelebat secepat kilat itu, ia teringat pesan orang tuanya mengenai sikap amanah dan jujur dalam kondisi apapun.

"Bertahanlah dalam kejujuran meski ketidakjujuran akan selalu mengintai dan memaksamu untuk menjalaninya."nasihat sang bapak terngiang lagi.

Ajaran agama Islam  yang dianutnya memang menuntut hal itu untuk dikedepankan, apapun risikonya, tetap risiko di akhirat kelak adalah hal terberat yang harus ditanggung.

"Hidup memang nggak setelek itu.."ujarnya dalam hati dengan pasrah.***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun