Sambil menggerutu tak jelas, dan ribuan kata di benaknya lebih ramai lagi berkecamuk, ia membersihkan kotoran ayam itu sekenanya. Kardi melepas sandalnya dan membersihkan kotoran yang melekat itu pada pinggiran selokan kering.
Begitupun dengan yang menempel di kaki kirinya, karena ia tak menemukan air di sekitar situ, ia menginjak tanah dan hanya menggesek-gesekannya saja, kemudian melakukan hal yang sama dengan membersihkannya di pinggiran selokan.
"Dasar telek pitik..." umpatnya kesal.
Kemudian Kardi kembali berjalan sambil masih terus merasa tak nyaman bukan saja karena urusan telek pitik itu. Pikirannya kacau karena urusan rumah tangganya.
Kardi stres memikirkan uang sewa bulanan rumah kontrakannya, uang jajan anak-anaknya dan biaya lain di kehidupannya yang secara tiba-tiba seperti tingkah anak kecil merajuk serta memaksa minta diperhatikan.
Bohlam lampu tiba-tiba putus, rice cooker mendadak rusak, kipas angin ikutan mati, token listrik pun sudah mengeluarkan bunyi yang baginya terdengar bagaikan teriakan toa masjid di depan telinganya.
"Kere kok ya borongan gini sih!" makinya di dalam hati sambil terus berjalan.
Ia tak peduli saat melewati orang-orang yang sedang asyik bermain burung merpati, dan menerbangkannya. Mereka seakan ingin menguji kesetiaan pasangan merpati, seperti ingin membuktikan apakah benar ungkapan "merpati tak pernah ingkar janji".
Dadanya masih terasa panas dan pikirannya terus saja berkecamuk mencari alternatif pendapatan singkat setelah sebelumnya ia gagal mendapatkan uang pinjaman di rumah kakaknya, ibu si Ucrit.
Pinjaman tak dapat, malah disuruh belanja ke pasar hanya karena ia sempat bilang mau berjalan ke arah pasar kaget.
"Crot!"