Mohon tunggu...
Anisa Fadil
Anisa Fadil Mohon Tunggu... assistant research -

aku adalah raga, menulis adalah nyawanya, dan kamu adalah asanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dia

17 Januari 2017   16:53 Diperbarui: 17 Januari 2017   18:33 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ibuk tidak mati!”

Bentakku pada gadis itu. Lalu ku gebrak-gebrak lagi meja di hadapanku.

“Kak Nora...”

Katanya kemudian.

“pergi.... pergii... pergiiiiiii.................”

Dia menangis dan mundur beberapa langkah. Dengan cepat wanita di sebelahku memegangiku dan membawaku ke dalam. Aku sendiri masih berteriak mengusirnya. Ibuku tidak mati. Dia masih menyulam dan menungguku pulang. Bagaimana bisa dia mengatakan hal tak mungkin itu di hadapanku? Dia pasti gila. Dia gadis gila!

***

Ibuku memang masih menyulam. Selembar kain berwarna biru muda ada di pangkuannya beserta benar warna-warni dan alat sulam berbentuk bulat. Wajahnya yang putih dan selalu berseri-seri kian ceria memandangi sketsa pada kain di pangkuannya. Menyulam memang hobinya, pekerjaan yang sangat menyenangkan baginya. Jika sudah menyulam, maka dia merasa telah menjelajahi seluruh dunia. Banyak gambar yang tertuang disana dan selalu menarik untuk dilihat. Saking senangnya, kadang diapun menyanyi-nyanyi lirih.

Keceriaan itu bergenti amarah ketika sosok lelaki memasuki pekarangan. Mengucap salam lalu berlutut di hadapannya. Ibu langsung bangkit dan mengusir lelaki itu. Menghinanya dengan kalimat-kalimat tak layak di dengar. Biasanya aku berlari, menghampiri Ibu dan menghentikannya. Aku berusaha membuat Ibu masuk ke dalam rumah dan meminta lelaki itu datang lain waktu. Tapi kali ini berbeda.

Kemarahan Ibu bak petir yang menyambar-nyambar di tengah badai. Sosok lelaki itu masih berlutut dan pasrah terhadap apapun yang akan diperbuat Ibu padanya. Aku sekuat tenaga menghalangi Ibu yang sudah membawa sebatang kayu siap untuk memukul.

“Lepas Nora. Biarkan Ibu hajar dia.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun